Setelah lulus dari Fakultas Pertanian Hiba ingin meneruskan usaha kedua orang tuanya. Namun, kendala yang harus dihadapi, Ibah kesulitan membangun bisnis pertanian di Transito.
"Kesulitan menanam tanaman pertanian. Lahan di sini kan sempit. Jadi enggak bisa," katanya.
Masalah lahan pun menjadi kendala terbesar Ibah dalam meraih cita-citanya menjadi petani milenial.
"Kami kan kesulitan akses untuk kembali hidup normal," ujar Perempuan kelahiran 7 September tahun 1999 ini.
Selama ini akses pendidikan, data kependudukan, layanan kesehatan sudah mulai Ibah nikmati. Namun, untuk mendapat tempat tinggal yang layak seperti seperti sebelum insiden tahun 2002, ia hingga kini belum merasakan hal tersebut, termasuk di Transito.
Sebab memang, tempat Ibah tinggal di Transito tersebut masih jauh dari kata layak. Kamar-kamar yang ada di pengungsian tersebut hanya menggunakan papan kayu sebagai pembatas kamar yang satu dengan yang lain.
"Kami minta itu sih ke Pemerintah. Kita bisa tinggal bebas seperti orang pada umumnya. Jadi kan bisa bertani nanti," katanya.
Cita-cita untuk menjadi petani Milenial pun Hiba kubur dalam-dalam.
"Saya sudah coba melamar pekerjaan di berbagai perusahaan di Kota Mataram. Ini sudah empat kali ngelamar belum dipanggil," cetus Ibah.
Semakin dewasa, perbedaan itu mulai dirasakan lebih melebur. Bahkan Kata Ibah, selama duduk di bangku kuliah ia tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari rekan-rekannya.