SuaraBali.id - Pengalaman traumatik membuat Hibatunnur (22) bertahan selama belasan tahun di lokasi pengungsian Transito di Lingkungan Monjok Kelurahan Pejanggik Kecamatan Mataram Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Transito, jadi satu-satunya tempat yang cukup memberikan rasa aman bagi dirinya.
Ibah sapaannya akrabnya, ialah seorang anak perempuan korban insiden perlakukan diskriminatif terhadap jamaah Ahmadiyah asal Lombok Timur tahun 2002 silam. Ibah kini telah beranjak dewasa.
Ia pernah mengalami dua kali insiden pembakaran yang membumihanguskan tempat tinggalnya. Yang pertama di Lombok Timur dan yang kedua di Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat.
Usia Ibah saat insiden mengerikan tahun 2002 di Lombok Timur baru beranjak 3 tahun. Rumah yang ia tinggali bersama tiga saudara dan kedua orangtuanya itu dibakar oleh beberapa oknum tidak bertanggungjawab.
"Waktu itu saya belum paham kenapa rumah kami dibakar," kata Ibah bercerita pada Selasa, (21/12/21).
Demi menghindari jatuhnya korban jiwa, sebelum insiden mengerikan itu, kata Ibah, ia bersama kelima anggota keluarganya telah diungsikan ke kantor Kepolisian Resor Lombok Timur. Saat itu, semua jamaah Ahmadiyah telah diungsikan.
"Sudah di kantor polisi semua. Saya juga tidak begitu ingat detail kejadian waktu itu, masih kecil juga kan" tandasnya.
Selepas insiden mengerikan tersebut, ia dan anggota keluarganya beserta jamaah Ahmadiyah yang lain mengungsi ke Transito, Kota Mataram.
"Jadi kami merasa amanlah waktu itu di Mataram," katanya.
Setelah berangsur membaik, Ibah pun memilih keluar dari pengungsian Transito Kota Mataram dan pindah menuju perumahan jamaah Ahmadiyah di Lingkungan Ketapang Desa Kekeri Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.
Mulai Sadar Didiskriminasi
Selama sekitar tiga tahun, Ibah merasa ada nuansa baru yang ia rasakan di tempat tersebut. Mulai bisa beradaptasi di rumah barunya.
Di Ketapang, ia dan keluarga mulai menyemai kehidupan baru. Namun, kehidupannya tetap berdampingan erat dengan hoaks soal jamaah Ahmadiyah.
"Tahun 2002 itu memang keluar dari Transito pindah ke Ketapang," kata Ibah.
Setelah insiden 2002 dia memang sempat indekos pada tahun 2004. Setelah itu Hiba bersama keluarga pindah menuju Ketapang.
"Tahun 2006 itu kembali ada insiden pelemparan di Ketapang," kata Ibah.
Usianya saat itu baru beranjak 7 tahun. Ingatannya amat kuat soal momen kelam kasus pelemparan yang meratakan rumah Hiba oleh segelintir orang.
"Lagi-lagi kasusnya mirip seperti di Lombok Timur," ujar Ibah.
Ibah mulai paham dengan kondisi yang dia alami tahun 2006. Insiden itu terjadi saat ia bermain. Kemudian, kata Ibah, Ia mendapat informasi bahwa akan ada orang yang akan merusak kampung Jamaah Ahmadiyah di Ketapang.
"Saya lari ke sawah waktu itu. Saya bahkan melihat langsung peristiwa perusakan itu di depan mata saya," tandasnya.
Lagi-lagi kasus mengerikan itu terjadi sekitar bulan Februari tahun 2006. Ia dan keluarga kemudian memutuskan untuk Kembali ke Transito. Ia mulai merasa dihinggapi rasa aman saat di Transito.
"Sampai sekarang kan tinggal di Transito," ujarnya.
Setelah kejadian tahun 2006 itu, Ibah tak lagi melihat insiden pengrusakan rumah jamaah Ahmadiyah. Ia pun mulai kehidupan baru sekembalinya ke tempat pengungsian tersebut.
Hiba menceritakan momennya saat mulai bersekolah. Ketika masuk sekolah dasar, Ibah juga kerap mendapat perlakuan diskriminatif dari rekan-rekannya.
Beranjak 7 tahun, Ibah kecil mulai belajar di SDN 42 Kota Mataram yang tak jauh dari lokasi pengungsiannya di Transito Majeluk, Kota Mataram.
Sekali lagi, tak jarang ia mendapat perlakuan diskriminatif. Ia bahkan kesulitan memiliki teman bermain di luar jamaah Ahmadiyah.
"Tapi saya tidak tahu, kenapa mereka membenci kami waktu itu," ujar Ibah.
Namun, setelah masuk sekolah menengah pertama di SMPN 15 Kota Mataram, teman-teman Ibah mulai menerima perbedaan yang diyakininya.
"Tetap ada sih. Tapi nggak separah waktu SD dulu," jelas Ibah.
Kehidupan Ibah pun terus berlanjut di Pengungsian Transito Kota Mataram.
Setelah lulus dari SMPN 15 Mataram, Ibah mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di SMA Arif Rahman Hakim di Kota Tangerang Jakarta. Ibah bersemangat. Sebab, SMA di Tangerang tersebut memang merupakan sekolah milik Jamaah Ahmadiyah pusat.
"Jadi saya SMA di Tangerang tinggal di kampung jamaah Ahmadiyah pusat," katanya.
Usai lulus SMA pada tahun 2017 silam, Hiba kemudian kembali ke Transito untuk menjalankan pendidikan S1 di Universitas Negeri Mataram (Unram). Ia memilih untuk berkuliah di mataram sebab tidak ingin jauh dari kedua orang tuanya.
Ia pun senang ketika mengetahui lulus murni di Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi, Unram lewat jalur SBMPTN.
"Saya senang lulus. Apalagi dapat pembayaran UKT itu grade 1. Kan murah tu bayar SPPnya cuma Rp500 ribu," ujar Ibah.
Menjadi Petani Seperti Orangtua
Selama empat tahun duduk di bangku kuliah Ibah pun merasa harus meneruskan jejak profesi kedua orang tuanya yang melakoni kehidupan sebagai seorang petani.
Kedua orang tua Ibah memang tekun bertani di lahan milik warga yang mereka sewa. Hal ini demi membiayai pendidikan Ibah.
Orang tua Ibah menjual lahan di Ketapang demi menyewa lahan milik warga di Desa Kekeri Kecamatan Gunungsari. Lahan seluas 200 meter persegi, Ayah Ibah menanam sayur-mayur.
"Ibu saya yang jualan ke pasar. Bapak yang tanam di Ketapang dekat bekas rumah yang dirusak dulu," katanya.
Setelah lulus dari Fakultas Pertanian Hiba ingin meneruskan usaha kedua orang tuanya. Namun, kendala yang harus dihadapi, Ibah kesulitan membangun bisnis pertanian di Transito.
"Kesulitan menanam tanaman pertanian. Lahan di sini kan sempit. Jadi enggak bisa," katanya.
Masalah lahan pun menjadi kendala terbesar Ibah dalam meraih cita-citanya menjadi petani milenial.
"Kami kan kesulitan akses untuk kembali hidup normal," ujar Perempuan kelahiran 7 September tahun 1999 ini.
Selama ini akses pendidikan, data kependudukan, layanan kesehatan sudah mulai Ibah nikmati. Namun, untuk mendapat tempat tinggal yang layak seperti seperti sebelum insiden tahun 2002, ia hingga kini belum merasakan hal tersebut, termasuk di Transito.
Sebab memang, tempat Ibah tinggal di Transito tersebut masih jauh dari kata layak. Kamar-kamar yang ada di pengungsian tersebut hanya menggunakan papan kayu sebagai pembatas kamar yang satu dengan yang lain.
"Kami minta itu sih ke Pemerintah. Kita bisa tinggal bebas seperti orang pada umumnya. Jadi kan bisa bertani nanti," katanya.
Cita-cita untuk menjadi petani Milenial pun Hiba kubur dalam-dalam.
"Saya sudah coba melamar pekerjaan di berbagai perusahaan di Kota Mataram. Ini sudah empat kali ngelamar belum dipanggil," cetus Ibah.
Semakin dewasa, perbedaan itu mulai dirasakan lebih melebur. Bahkan Kata Ibah, selama duduk di bangku kuliah ia tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif dari rekan-rekannya.
"Semakin kesini sepertinya semakin bagus sih. Karena saya kira tidak mungkin bisa seragam, pasti ada perbedaan, walaupun misalkan saya Ahmadiyah, saya tidak mempermasalahkan keyakinan orang," katanya.
Setelah lulus bulan Oktober 2021, untuk mengisi waktu senggang Ibah bersama 10 rekan pemuda jamaah Ahmadiyah mulai aktif memberikan pengajian di pengungsian Transito Kota Mataram.
"Selama tidak bekerja, hari Senin sampai hari Kamis, ngajar di Transito, ngajar anak PAUD sampai SD jadi guru ngaji," tuturnya.
Ilmu yang ia dapat dari bangku kuliah dirasa harus bisa memberi manfaat bagi anak-anak di pengungsian Transito.
"Paginya bantu ibu, sorenya ajarkan Alquran ke adik-adik. Ada yang ngajar sejarah islam Bahasa Inggris, dan pelajaran tentang lingkungan," kata Ibah.
Selama mengajar di Transito bersama 10 remaja lainnya, Ibah mendapat dana insentif dari Jamaah Ahmadiyah pusat di Tangerang.
"Iya sebulan itu dapatlah Rp 200 ribu," katanya.
Kini Ibah jadi sangat dibutuhkan oleh anak-anak di pengungsian Transito, Kota Mataram. Namun, Ibah tetap punya mimpi. Ia berharap suatu saat dapat rumah pribadi yang lebih nyaman dan aman untuk ditinggali.
"Tidak seperti di Transito kamar terbatas," ujar dia.
Ibah menitipkan pesan. Ia berharap agar masyarakat tidak membenci jamaah Ahmadiyah.
"Kita mau hidup aman diterima di tengah masyarakat. Pastinya hak untuk bebas hidup itu sama. Kami ingin tinggal berdampingan dengan masyarakat umum lainnya," tandasnya penuh harap.
Kontributor : Lalu Muhammad Helmi Akbar