SuaraBali.id - Di antara begitu banyak pura Hindu di seantero Bali, pura di Desa Kapal ini memiliki keunikan. Yaitu membawa bercorak agama Buddha. Dikutip dari BeritaBali.com, jaringan dari SuaraBali.id, Pura Sada ini sangat menarik untuk dikupas lebih jauh.
Pura Sada terletak di Bendesa Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung. Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana menceritakan secara singkat keberadaan dari Pura Sada ini.
Dikatakan Pura Sada dahulu menganut paham Agama Surya Kencana, atau belakangan berkembang menjadi agama Siwa Buddha. Pura Sada dibangun pada masa pemerintahan Sri Jaya Sakti di Bali. Tepatnya pada 1059 Saka jika ditambah 78 menjadi 1137 atau abad ke-12.
Tentu perkembangan sejarah selanjutnya, setelah Pura Sada ada, selanjutnya pada kekuasaan Raja Bali terakhir pernah memerintahkan para punggawanya untuk merestorasi Pura Sada yang ada di Desa Kapal tepatnya pada tahun 1339 Masehi.
Baca Juga:Wisata Bali: Bila di Jawa Ada Wali Songo, di Sini Muncul Paket "Wali Pitu"
"Punggawa saat itu konon katanya lebih terkenal bergelar Ki Kebo Iwa Karang Buncing berasal dari Blahbatuh. Bersama dengan lima kelompok Pasek yang ikut ngayah di Pura Sada," jelasnya.
Lima kelompok pasek berjumlah 275 orang itu diupacarai, atau dalam ritual Bali "diperas" di jaba Pura Sada di hari Kamis, Wage Sungsang.
"Maka dia bergelar Sedan Pengutikan akhirnya," jelasnya.
Dari 275 orang tadi, seiring dengan perubahan, sampai saat ini hanya tersisa 27 orang saja. Dan 27 orang tadi akhirnya lebih dikenal dengan parekan Pura Sada.
Siwa Buddha
Baca Juga:Wisata Bali: Pariwisata Belum Cerah, Badung Pilih Ekonomi Kreatif
Kemudian di Pura Sada awalnya diyakini menganut agama Siwa Buddha, diawali agama Buddha. Di mana Buddha adalah Awatara Wisnu.
"Diakui atau tidak, secara sejarah agama paling awal di Bali adalah agama Buddha," katanya.
Hal ini dibuktikan dengan adanya pelinggih berbentuk stupa di dalam areal Pura Sada. Peninggalan berciri agama Buddha ini bukan saja ditemukan di Pura Sada, tetapi di daerah lainnya di Bali. Saat hari raya Imlek, warga keturunan Tionghoa juga banyak bersembahyang di Pura Sada.
"Melihat semua hal ini menyiratkan bahwasanya Pura Sada di Desa Kapal beraliran Budha Mahayana dibangun saat peradaban penguasaan Bali oleh Sri Jaya Sakti di Bali pada 1059. Jika dilihat beliau datang sebagai penguasa mulai 1055. Sehingga beliau membangun tempat ini (Pura Sada)," cetusnya.
"Jadi di Bali umumnya agama Budha berkembang saat itu," ucapnya.
Candi di Bali Bukan Makam
Selanjutnya Candi Induk di Pura Sada adalah lokasi pemujaan Shang Hyang Siwa Guru. Ia menjelaskan awal mula nama pura yang disebut "Prasada" dikarenakan ada Candi Prasada.
Lantas, lama kelamaan menjadi Pura Prasada. Selanjutnya mengalami pergeseran-pergeseran akhirnya disebut Pura, Puru, Sada dari dinasti Sri Jaya Sakti yang membangun Pura Sada.
"Saya menepis bahwasanya Pura Sada sempat disebut makam, tentu anggapan ini salah karena Candi yang ada di Pura Sada dibandingkan dengan makam yang ada di pulau Jawa. Almarhum Ida Bagus Mantra saat itu sangat jelas dalam pidatonya bahwa jangan samakan Cadi Jawa dengan Candi yang ada di Bali," paparnya.
Ia menegaskan candi di Jawa merupakan untuk makam, tetapi Candi di Bali digunakan untuk pemujaan karena jika dilihat dari kata candi sendiri berarti Candika. Dalam hal ini artinya adalah Siwa.
"Jadi candi itu bukan merupakan situs pemakaman," sebutnya.
Menurut cerita para orang tua terdahulu, kata Sudarsana, bahwasanya di bawah Candi ada sumur, dan di salah satu sudut di areal Pura ada juga lubang.
Pada 1949 sempat dilakukan restorasi, salah satunya mengukur kedalaman lubang itu dengan tali yang diisi batu untuk pemberat. Akan tetapi, upaya ini sia-sia karena benang diisi pemberat tidak sempat menyentuh dasar dari kedalaman lubang itu.
"Maka keyakinan masyarakat akhirnya muncul, kedalaman dari lubang tadi sampai tembus ke laut. Dan jika dilihat secara geografis memang ada urung-urungan laut masuk ke daratan atau saat terjadi gempa," ungkapnya.
Sudarsana mempertegas Pura Sada dibangun pada abad ke-12 tahun 1137 Masehi atau Saka 1059 pada masa pemerintahan Sri Jaya Sakti di mana di Bali beristana di Gunung Karang, Lempuyang.