Selanjutnya Candi Induk di Pura Sada adalah lokasi pemujaan Shang Hyang Siwa Guru. Ia menjelaskan awal mula nama pura yang disebut "Prasada" dikarenakan ada Candi Prasada.
Lantas, lama kelamaan menjadi Pura Prasada. Selanjutnya mengalami pergeseran-pergeseran akhirnya disebut Pura, Puru, Sada dari dinasti Sri Jaya Sakti yang membangun Pura Sada.
"Saya menepis bahwasanya Pura Sada sempat disebut makam, tentu anggapan ini salah karena Candi yang ada di Pura Sada dibandingkan dengan makam yang ada di pulau Jawa. Almarhum Ida Bagus Mantra saat itu sangat jelas dalam pidatonya bahwa jangan samakan Cadi Jawa dengan Candi yang ada di Bali," paparnya.
Ia menegaskan candi di Jawa merupakan untuk makam, tetapi Candi di Bali digunakan untuk pemujaan karena jika dilihat dari kata candi sendiri berarti Candika. Dalam hal ini artinya adalah Siwa.
Baca Juga:Wisata Bali: Bila di Jawa Ada Wali Songo, di Sini Muncul Paket "Wali Pitu"
"Jadi candi itu bukan merupakan situs pemakaman," sebutnya.
Menurut cerita para orang tua terdahulu, kata Sudarsana, bahwasanya di bawah Candi ada sumur, dan di salah satu sudut di areal Pura ada juga lubang.
Pada 1949 sempat dilakukan restorasi, salah satunya mengukur kedalaman lubang itu dengan tali yang diisi batu untuk pemberat. Akan tetapi, upaya ini sia-sia karena benang diisi pemberat tidak sempat menyentuh dasar dari kedalaman lubang itu.
"Maka keyakinan masyarakat akhirnya muncul, kedalaman dari lubang tadi sampai tembus ke laut. Dan jika dilihat secara geografis memang ada urung-urungan laut masuk ke daratan atau saat terjadi gempa," ungkapnya.
Sudarsana mempertegas Pura Sada dibangun pada abad ke-12 tahun 1137 Masehi atau Saka 1059 pada masa pemerintahan Sri Jaya Sakti di mana di Bali beristana di Gunung Karang, Lempuyang.
Baca Juga:Wisata Bali: Pariwisata Belum Cerah, Badung Pilih Ekonomi Kreatif