SuaraBali.id - Kata "Wali Songo" asosiatif dengan sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Bagaimana di Bali? Dikutip dari BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, rupanya ada istilah "Wali Pitu di Bali". Apakah ada kemiripan?
Berdasar peninggalan sejarah, ada situs makam-makam Wali Pitu (wali tujuh) yang lokasinya menyebar di beberapa wilayah Kabupaten di Bali dan sekarang sudah di-Arabkan menjadi Sab’atul Auliya’(Tujuh Wali). Seperti dimuat dalam buku tentang Wali Pitu di Bali yang disusun KH Toyib Zaen Arifin, Sejarah Wujudnya Makam "Sab’atul Auliya", Wali Pitu di Bali, Ponpes Lirboyo, Kediri, 1998.
Adapun yang mengklaim sebagai penemu Wali Pitu pertama di Bali adalah lewat pengalaman rohani melalui proses yang diawali dengan petunjuk-petunjuk yang dialami oleh seseorang yang bernama Chabib Toyyib Zaen Arifin Assegaf itu sendiri. Beliau adalah Pengasuh Jam’iyah Manaqib Al Jamali (Jawa – Madura – Bali), Yakni pada bulan Muharam 1412 H / 1992 M.
Sesungguhnya istilah Wali Pitu yang ada di Bali awalnya tidak dikenal pada umumnya umat Islam sendiri di Pulau Dewata, namun lebih terkenal dan berasal dari pelaku wisata di Jawa sekitar 1990-an oleh para pelancong muslim yang berkunjung ke Bali sambil berwisata religi.
Baca Juga:Tragedi di Bali Utara 47 Tahun Lalu: Pan Am Flight 812 Tabrak Gunung
Istilah Wali Pitu di Bali ini awalnya diperkenalkan oleh agen travel wisata di Jawa yang dimulai dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah sampai Jawa Timur bahkan dari luar Jawa seperti di Kalimantan dan Sulawesi.
Para agen wisata biasanya menawarkan skema paket kunjungan wisata Wali Songo plus Wali Pitu di Bali dan tempat-tempat wisata favorit lainnya di Bali dengan memasang tarif tertentu.
Permasalahannya apakah betul yang disebut makam para wali oleh pihak pelaku industri pariwisata sebenarnya berasal dari luar Bali, dan benar-benar makam para Wali Allah atau bukan?
Istilah Wali Pitu yang kemudian menjadi ikon wisata rohani di Bali baru saja muncul beberapa tahun lalu yang sebelumnya tidak dikenal.
Mungkin hanya karena “Kepentingan Bisnis" semata dengan menggunakan makam-makam itu sebagai barang komoditi industri pariwisata yang kelihatan laku dijual sehingga fenomena ini dari segi ekonomi banyak yang mengambil keuntungan dan tentu yang paling diuntungkan adalah para agen travel, pemilik bus-bus pariwisata yang diperkirakan tidak kurang dari 50 bus atau memuat sekitar 2.250 orang setiap hari melaju dari Jawa, masuk Bali melalui pintu masuk pelabuhan penyeberangan Gilimanuk Jembrana (sebelum masa pandemi Covid-19).
Baca Juga:Wisata Bali: Pariwisata Belum Cerah, Badung Pilih Ekonomi Kreatif
Mereka berombongan untuk berkunjung ke makam-makam itu dengan berbekal niat para jama’ah peserta untuk bertabarruk (ngalap berkah) di tempat makam-makam para kekasih Allah itu.
Biasanya musim-musim yang padat peziarah ke makam Wali Pitu di Bali ini adalah kebanyakan memilih berkunjung pada bulan Syawal atau Maulid yaitu pada masa liburan sekolah.
Memang dari segi ekonomi dalam hal ini tentu akan mengalir sejumlah rupiah ke pundi-pundi masyarakat setempat khususnya di kalangan Muslim di lingkungan makam itu karena dengan kunjungan wisata dari luar Bali yang tidak sedikit jumlahnya setiap hari tentu barang-barang jualan mereka akan laris terjual seperti jualan para pemilik warung-warung makanan dan minuman.
Kios-kios cenderamata dan dagangan para pedagang keperluan wisata lainnya akan laku pesat di saat kedatangan mereka di tempat itu. Meskipun memang saat kedatangan para pengunjung khususunya dari luar Bali tidak tertentu waktunya yang pasti namun dalam waktu setiap hari ada saja yang muncul.
Tapi baiklah kita mencoba sedikit memahami apa sebenarnya yang dinamakan dan dikategorikan sebagai “Wali Allah” itu. Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari “‘aduwwun” (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka Wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah.
Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Q.S Yunus : 62 – 64).
Apakah mereka yang telah diklaim sebagai Wali tersebut termasuk memenuhi kriteria seperti apa yang disebut pada definisi sederhana di atas ? Hal ini kemungkinan bisa saja kita hubungkan dangan definisi itu manakala kita tahu persis satu persatu sejarah perjalanan hidup mereka.
Akan tetapi permasalahannya adalah bahwa dari sekian banyak para pemilik makam yang diklaim sebagai Wali Pitu itu telah kehilangan jejak dan tidak seorangpun yang tahu persisnya sehingga kemungkinan besar banyak yang dikarang atau diakui oleh penyusunnya yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti sejarahnya yang sebenarnya. Meskipun demikian tentu dari tujuh wali yang diklaim itu tentu sebagian ada yang clear atau jelas sejarahnya.
Adapun nama-nama yang diklaim sebagai Wali Pitu di Bali antara lain :
- Raden Mas Sepuh atau Pangeran Mangkuningrat (Keramat Pantai Seseh, Mengwi Badung)
- Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi (Keramat Bukit Bedugul, Tabanan )
- Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid di (Keramat Pantai Kusamba, Klungkung )
- Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Bungaya , Karangasem)
- Syeich Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi (Keramat Karangasem)
- Syeich Abdul Qodir Muhammad (Keramat Karangrupit, Temukus, Buleleng)
- Habib Ali bin Umar Bafaqih (Keramat Loloan Barat, Jembrana)
Daftar ini adalah menurut versi buku Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, Wali Pitu di Bali yang ditulis oleh KH Toyib Zaen Arifin (1998).
Sebab mengenai susunan yang tergolong Wali Pitu di Bali ini terdapat banyak versi dan hal itulah antara lain yang menunjukkan bahwa dalam penyusunannya tidak mempunyai kriteria tertentu sehingga menyebabkan penyusunnya kebingungan dalam menentukan mana yang harus dimasukkan dan mana yang tidak perlu.
Misalnya dari daftar di atas ini tidak mencantumkan nama Dewi Siti Khadijah putri dari Raja Cokorde Pemecutan III padahal di versi yang lain beliau dicantumkan.
Meski fakta sejarah membenarkan keberadaan Wali Pitu, namun penetapan nama-nama itu sendiri bukanlah berdasarkan kesepakatan umat Muslim Bali. Kendati begitu, bukan berarti kiprah Wali Pitu tidak diakui dalam konteks syiar Islam di Bali.
Validitasnya memang tidak bisa menyamai sejarah Wali Songo di Jawa, oleh karena kiprah sebagian mereka hanya dari cerita ke cerita (oral story), bahwa Wali Pitu di Bali memiliki pengaruh dan karomah yang sangat penting bagi perkembangan Islam di Bali.
Salah satu contoh dari daftar di atas yang menurut penulis (H. Bagenda Ali) perlu diluruskan karena tidak sesuai dengan fakta sejarah adalah Pangeran Mas Sepuh atau Pangeran Mangkuningrat (daftar nomor satu) yang dalam serat Blambangan dikenal juga dengan nama Minak Jinggo selaku raja Macan Putih Blambangan yang pernah menjalani eksekusi dihukum mati oleh penguasa Mengwi.
Menurut Drs. Samsubur dalam bukunya Sejarah Kerajaan Blambangan halaman 217, bahwa Pangeran Mas Sepuh beragama Hindu (Syiwa) sehingga makamnya itu tidak mungkin ada di situ (karena pasti dikremasi atau ikut dalam proses ngaben).
Namun dikisahkan pula bahwa di antara pengawal Raja itu ada yang beragama Islam yang tentu juga bisa jadi ikut dihukum mati di pantai Seseh dan dikuburkan di situ, lalu kemudian inilah yang diklaim sebagai makam Pangeran Mas Sepuh atau Mangkuningrat.
Demikian pula dengan Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi dalam daftar di atas itu merupakan salah satu keramat di bukit Bedugul ternyata tidak ada satu pun fakta sejarah yang memuat tentang hal nama ini, hanya yang termaktub dalam sejarah bahwa hanya kuburan yang ditemukan oleh para pencari kayu yang di bagian puncak bernama Hasan dan di bagian lereng bukit bernama Husein sehingga mereka menduga bahwa kuburan itu adalah dua orang bersaudara dan bukan Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi.
Dua orang ini berasal dari Karangasem, kemungkinan dua orang ini bersuku Sasak Karangasem karena di daerah Bedugul pada jaman dahulu berada di bawah kekuasaan kerajaan Karangasem.
Demikian pula Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus (Keramat Bungaya, Karangasem). Menurut H. Marzuki umur 75 tahun tokoh sesepuh NU Karangasem bahwa Habib Ali Zainal Abidin itu adalah guru pencak silat di zamannya dan bukan ahli agama Islam. Mungkin ini juga ada benarnya jika ketokohannya sudah berada di abad ke-21. [aswajadewata.com].