- Bagi petani Bali, sawah adalah pura suci tempat ritual Subak menyatukan manusia, alam, dan Tuhan.
- Setiap tahap tanam padi adalah perjalanan spiritual, dari ritual Ngendagin hingga panen sebagai syukur.
- Secara kolektif, Subak menjaga harmoni lewat ritual seperti Magpag Toya & Nyepi Sawah untuk alam.
SuaraBali.id - Di hamparan sawah Bali yang menghijau subur, sebuah aktivitas yang jauh lebih dalam dari sekadar cocok tanam berlangsung setiap hari.
Bagi masyarakat Bali, sawah bukanlah sekadar lahan produksi, melainkan sebuah altar terbuka tempat dialog sakral antara manusia, alam, dan Tuhan terjalin.
Inilah esensi dari sistem Subak, sebuah organisasi irigasi tradisional yang diakui dunia, yang beroperasi di bawah payung filosofi Tri Hita Karana.
Setiap ayunan cangkul, setiap benih yang ditabur, dan setiap bulir padi yang dipanen adalah bagian dari sebuah ritual agung.
Baca Juga:Polda Panggil 24 Konsulat Asing untuk Atasi Maraknya WNA Berulah
Ini adalah wujud nyata dari harmoni, di mana petani tidak menaklukkan alam, melainkan bekerja bersamanya sebagai mitra yang setara.
Perjalanan Spiritual Sang Petani
Bagi seorang petani, siklus tanam padi adalah sebuah perjalanan spiritual pribadi. Dimulai dengan Ngendagin, saat cangkul pertama kali menyentuh tanah, sesajen dipersembahkan sebagai permohonan izin untuk memulai kehidupan baru.
Dilanjutkan dengan Ngawiwit, di mana benih ditabur dengan doa agar tumbuh subur.
Saat padi berusia sebulan, upacara Mantenin digelar untuk melindunginya dari hama, layaknya orang tua merawat anaknya.
Baca Juga:Viral Lift di Pantai Kelingking Bikin Resah, Gubernur Bali Perintahkan Tutup Jika Melanggar
Menjelang padi menguning, ritual Biukukung dipersembahkan sebagai wujud syukur kepada Dewi Sri, sang dewi kesuburan.
Puncaknya adalah Nyangket, saat panen dimulai sebagai perayaan atas berkah yang diterima. Setiap tahap adalah komunikasi tanpa henti, sebuah pengingat bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari siklus kosmik yang lebih besar.
Harmoni Kolektif dalam Orkestra Subak
Spiritualitas ini tidak berhenti di tingkat individu. Para petani dalam satu Subak bergerak layaknya sebuah orkestra, memainkan simfoni ritual kolektif untuk menjaga keseimbangan.
Upacara Magpag Toya digelar di bendungan, sebuah penghormatan kepada air sebagai sumber kehidupan sebelum dialirkan ke sawah.
Untuk menolak bala, ritual Nangluk Merana dilakukan, bukan untuk memusnahkan hama, tetapi untuk "bernegosiasi" dengan kekuatan tak kasat mata agar tidak mengganggu tanaman.