Sejarah Canang, Sarana Persembahan Umat Hindu yang Banyak Ditemukan di Bali

Persembahan dari penganut Hindu Bali ini sering digunakan dalam kegiatan persembahan sehari-hari oleh umat Hindu Bali.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 19 September 2023 | 14:10 WIB
Sejarah Canang, Sarana Persembahan Umat Hindu yang Banyak Ditemukan di Bali
Canang sari (Dok. Pribadi/Yudi Rahmatullah)

SuaraBali.id - Pesona alam yang dimiliki Pulau Dewata, Bali memang menakjubkan. Hal ini yang berhasil membuat para wisatawan ketagihan datang kesini.

Nah, saat berkunjung ke Bali, kalian pasti sering melihat semacam wadah persembahan kecil di pinggir jalan maupun di depan rumah.

Persembahan tersebut biasa dikenal dengan sebutan ‘canang’. Persembahan dari penganut Hindu Bali ini sering digunakan dalam kegiatan persembahan sehari-hari oleh umat Hindu Bali.

Dilansir situs smkn.singaraja.sch.id, canang mengandung simbol bahasa Weda yang isinya adalah permohonan di hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, atas kekuatan Widya (pengetahuan) untuk Bhuana Alit dan Bhuana Agung.

Baca Juga:Tak Pulang Kampung ke Korea, Shin Tae-yong Diajak Cicipi Makanan Khas Bali

Canang sendiri merupakan bentuk persembahan yang paling sederhana yang biasa digunakan sebagai bentuk ucapan syukur bagi Sang Hyang Widhi atas kedamaian di dunia.

Sejarah Canang

Menurut sejarahnya, Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno, Can dan Nang. Can berarti indah sedangkan Nang berarti tujuan atau maksud. Kata canang sendiri berarti sirih. Mulanya canang berarti sirih yang dihidangkan atau disuguhkan kepada tamu yang dihormati.

Tradisi makan sirih merupakan tradisi yang dijunjung tinggi masyarakat Pulau Bali sejak dulu kala, lambang penghormatan terhadap masyarakatnya.

Sirih merupakan benda yang mempunyai nilai tinggi di mata masyarakat Bali. Kini canang pun mengandung sirih di dalamnya.

Baca Juga:Bule Mesum Depan Rumah Warga Ditangkap Polisi, Begini Pengakuannya

Canang merupakan ciptaan Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih setelah berhasil menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Setelah menggantikan Danghyang Rsi Markandeya. Mpu Sangkulputih melengkapi ritual bebali.

Ia menambahkan variasi dan dekorasi menarik untuk berbagai jenis banten dengan menggunakan unsur-unsur tumbuhan lain seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, beras, kacang, injin, kelapa, dan pisang.

Canang digunakan sebagai suatu sarana ritual umat Hindu Bali dalam menyembah Ida Sang Hyang Widhi. Canang dipersembahkan setiap harinya mulai pukul 06.00 WITA dan sore menjelang malam.

Canang biasa ditempatkan di titik-titik tertentu. Tempat yang digunakan adalah tempat-tempat suci yang mengandung kepercayaan dari masyarakat Hindu Bali.

Tidak terbatas pada Pura atau Sanggah, canang bisa ditempatkan di dalam rumah, di pinggir jalan, maupun di pekarangan.

Fungsi canang adalah sebagai sarana persembahan masyarakat Hindu Bali, seperti ketika purnama, tumpek, tilem, anggar kasih, dan kajeng kliwon. Canang juga banyak dipersembahkan pada hari raya besar umat Hindu.

Untuk hari raya besar keagamaan Hindu yang datang setiap 6 bulan sekali seperti Galungan, Pagerwesi, dan Kuningan, canang juga digunakan untuk turut melengkapi sesaji lain, seperti banten soda atau banten gebogan.

Canang ini diletakan paling atas di setiap sesaji tersebut, kemudian dipersembahkan di pura-pura. Sejatinya, canang merupakan inti penting dalam suatu persembahan. Canang ini yang membuat persembahan maupun suatu upacara menjadi sah.

Kontributor : Kanita

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak