SuaraBali.id - Penerbangan dari luar negeri ke tanah air sekitar dua minggu ke belakang disarankan untuk ditelusuri guna mengantisipasi kemungkinan masuknya varian Omicron di Indonesia. Pemeriksaan ini disarankan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Tjandra Yoga Aditama.
Menurutnya asih ada kemungkinan WNA masuk ke Indonesia sebelum tanggal 29 November 2021. yakni saat aturan penolakan masuk sementara orang asing yang pernah tinggal dan atau mengunjungi daerah terjangkit berlaku.
"Melihat laporan beberapa negara bahwa kasus dari penerbangan sudah mulai sejak minggu-minggu yang lalu, maka akan amat baik kalau di kita juga dilakukan pemeriksaan sekitar 2 minggu ke belakang," katanya, Jumat (3/12/2021).
Dokter yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu mengatakan mereka bisa saja telah menyelesaikan karantina selama tiga hari sesuai aturan dan kini sudah ada di tengah-tengah masyarakat.
Walau sesudah tiga hari karantina yang lalu PCR mereka negatif tetapi karena masa inkubasi COVID-19 dapat sampai lebih dari 2 minggu, maka hasil PCR positif bisa saja baru muncul belakangan.
Hal ini disebutnya seperti yang terjadi di negara-negara lain. Dan apabila ada di antara warga asing itu mendapatkan hasil positif pada tes PCR dan terdeteksi varian Omicron, maka buruk akibatnya bagi situasi epidemiologi di Indonesia.
Ditegaskan Tjandra bahwa mitigasi berlapis yakni penelusuran kepada mereka yang datang dalam 2 atau 3 minggu lalu perlu dilakukan. Perlu ada kepastian kesehatan mereka termasuk apakah mereka sakit dan diisolasi lalu ditangani secara seksama termasuk “genome sequencing” nya.
"Harus ada mitigasi berlapis dimana perlu dilakukan penelusuran kepada mereka yang datang dalam 2 atau 3 minggu yang lalu, apakah mereka sekarang sehat saja atau barangkali ada yang sakit yang tentu harus diisolasi dan ditangani dengan seksama, termasuk “genome sequencing” nya," kata Tjandra.
Seperti diketahui varian Omicron pada 2 Desember lalu ditemukan sebanyak 390 kasus di 31 negara, yakni 15 di Eropa dan 4 negara di Asia antara lain Hong Kong, Korea Selatan, India dan Singapura.