SuaraBali.id - Dahulu kala seorang raja di Bali adalah jabatan puncak atau tertinggi dalam pemerintahan. Seperti kekuasaan Ida I Dewa Agung Istri Kania adalah raja Kerajaan Klungkung ke VIII (1814-1868).
Sosok raja dari Klungkung ini dijuluki raja berkepala batu oleh Belanda. Ternyata sebabnya karena sangat kokoh memegang prinsip, dan tidak mau menyerah, atau terus-terusan melawan Belanda.
Kisah Ida I Dewa Agung Istri Kania ditulis oleh I Nyoman Sukartha dari Fakultas Ilmu Budaya UNUD Denpasar dalam artikel yang berjudul “Ida I Dewa Agung Istri Kania: Raja, Feminisme, dan Pahlawan dari Klungkung” dan dipublikasikan dalam Dharmasmrti, Volume XVI, Nomor 1 tahun 2017.
Nyoman Sukartha menyebut bahwa Ida Dewa Agung Istri Kania menjadi raja saat masih muda atau gadis. Prinsip beliau adalah, lebih baik mati dari pada menyerah dan dijajah oleh Belanda.
Sebab menyerah berarti turunnya derajat kebangsawanan dan harga diri seorang raja.
Ketika pemerintahan Ida Dewa Agung Istri Kania, pada tahun 1849 Kerajaan Klungkung mengalami serangan atau intervensi militer Belanda di bawah pimpinan jenderal Miechels. Pada waktu itu belum ada wanita yang punya keberanian untuk berperang.
Berperang adalah tugas laki-laki. Namun, Ida Dewa Agung Istri Kania memimpin perlawanan melawan Belanda. Ini berarti bahwa, ada jiwa heroik atau patriotik pada beliau sebagai keturunan ksatria.
Lebih-lebih lagi dengan terbunuhnya top pimpinan Belanda Jenderal Miechels. Belanda yang menyerang Kerajaan Klungkung pada waktu itu bisa dikalahkan, sehingga pada tahun 1849 Kerajaan Klungkung tidak bisa dikuasai atau dijajah oleh Belanda.
Kerajaan Klungkung baru bisa ditundukkan oleh Belanda pada tahun 1908, atau setelah 57 tahun kemudian. Itu berarti waktunya sangat jauh dari masa kepemimpinan beliau, atau bukan pada masa kepemerintahan beliau.[bbn/ Dharmasmrti/mul]