Warga Jerman Berbagi Kisah Sejarah Pembangunan Bandara Ngurah Rai

Melalui bukunya berjudul A Magic Gecko, seorang warga Jerman menceritakan sejarah Bandara Ngurah Rai.

Dythia Novianty
Senin, 01 Maret 2021 | 12:01 WIB
Warga Jerman Berbagi Kisah Sejarah Pembangunan Bandara Ngurah Rai
Bandara Internasional Ngurah Rai Sepi. (Suara.com/Dini Afrianti Efendi)

SuaraBali.id - Melalui bukunya berjudul A Magic Gecko, seorang warga Jerman yang bekerja di perusahaan telekomunikasi Jerman, Horst Henry Geerken, menceritakan sejarah Bandara Ngurah Rai yang kala itu bernama Tuban.

Januari 1964, Geerken, pergi ke Bali untuk bekerja di proyek pembangunan Bandara Tuban berlokasi di Badung, Bali.

Saat itu, Bandara Tuban (Ngurah Rai) hanyalah sebuah landasan rumput sederhana bergelombang dan hanya sekali-sekali didarati oleh pesawat kecil.

Presiden Sukarno ingin menjadikan bandara ini berstandar internasional untuk membuka Bali bagi destinasi pariwisata.

Baca Juga:Mantan Pasien Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Sayat Leher Perawat

Henry bertugas menyediakan alat-alat yang berhubungan dengan telekomunikasi. Saat tiba di Bali, pembangunan bandara telah dimulai.

Perusahaaan Jerman tempatnya bekerja yakni Grun & Bilfinger, memperoleh kontrak untuk membangun landasan. Dia pun mengurus perencanaan fasilitas pemancar dan penerimaan.

"Kami harus melakukan tes lapangan untuk menentukan lokasi terbaik untuk bangunan dan antena yang dibutuhkan. Banyak yang harus dikerjakan sehingga saya sibuk berminggu-minggu. Pada hari Minggu saya bebas bepergian untu mengenal tempat itu dan masyarakatnya," tulisnya dilansir laman BeritaBali, Senin (1/3/2021).

Presiden Sukarno waktu itu terobsesi dengan gagasan untuk memiliki landasan yang menjorok ke laut seperti bandara di Kai Tak, Hongkong.

Sederetan truk membawa jutaan meter kubik batu untuk menguruk laut siang malam. Batu-batu tersebut ditambang dari bagian selatan pulau.

Baca Juga:Polisi Lakukan Pembantaran Penyayat Leher Perawat di Bandara Soetta

Pekerjaan paling sulit yakni dilakukan oleh ratusan perempuan, sementara para lelaki duduk di kursi ekskavator dan memuat truk begitu truk-truk tersebut tiba.

"Seorang ahli Jerman bercerita bahwa orang Bali bisa dilatih menjadi pengemudi ekskavator yang andal hanya dalam hitungan jam. Di Jerman, biasanya pelatihan makan waktu berbulan-bulan," tulisnya.

Menurutnya, satu-satunya masalah adalah mereka kesulitan mematikan mesin pada sore hari. Mereka langsung pulang dengan membirkan mesin tetap menyala.

Ketika pekerjaan menguruk dianggap selesai, ruang berongga di bawah tepi laut berkarang runtuh dan pasir landasan lenyap di bawah laut.

Para insinyur Grun & Bilfinger kehabisan akal tapi tidak putus asa. Truk-truk datang kembali dengan lebih banyak batu. Setelah runtuh ke dalam laut beberapa kali, barulah landasan berdiri dan pekerjaan selesai.

Pada masa-masa awal, lalu lintas udara di Bandara Tuban (Ngurah Rai) belum terlalu padat. Saat bandara mulai digunakan, masih ada jalan yang melintang di landasan menuju sebuah pura Hindu di dekatnya.

Jika upacara di pura yang sering diadakan tengah berlangsung, sebuah prosesi penganut Hindu akan berjalan melintas di antara pesawat-pesawat yang diparkir.

"Mereka bahkan menunggu kedatangan yang terlambat walaupun para pilot yang tidak sabar telah mengirimkan pesan radio darurat, berputar-putar di atas kepala. Para Dewa berhak atas jalan," tulis Henry.

Sampai saat itu, hanya pesawat milik maskapai Indonesia yang diizinkan menggunakan bandara di Bali. Tapi sejak 1968, pesawat milik maskapai internasional juga diizinkan mendarat di sana.

Lalu lintas udara di Bali, terutama yang membawa turis, meningkat sehingga tidak mungkin lagi mengizinkan interupsi yang disebabkan oleh perayaan dan prosesi.
Sebuah perjanjian akhirnya dicapai dengan warga setempat dan pendeta pura. Sejak 1968, mereka menggunakan jalan baru yang mengelilingi bandara menuju pura.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak