Jimly Asshiddiqie: Surat Edaran Hanyalah Instruksi, Bukan Peraturan

Jimly Asshiddiqie tegaskan SE bukan peraturan hukum, hanya instruksi. Isinya tak boleh bertentangan dengan UU/peraturan lebih tinggi & tak punya sanksi.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 15 Oktober 2025 | 09:12 WIB
Jimly Asshiddiqie: Surat Edaran Hanyalah Instruksi, Bukan Peraturan
Pengamat hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Jimly Asshiddiqie: Surat Edaran (SE) hanyalah instruksi, bukan peraturan hukum.
  • SE tidak memaksa & tak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
  • SE Gubernur Bali tentang AMDK dianggap salah dan bisa diabaikan karena bertentangan aturan.

SuaraBali.id - Pengamat hukum tata negara senior, Prof. Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa Surat Edaran (SE) bukan merupakan sebuah peraturan hukum, melainkan sebatas instruksi.

Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan mengenai kekuatan hukum surat edaran, terutama setelah dikeluarkannya SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang salah satu klausulnya mengatur pelarangan produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter.

Menurut Jimly, SE berfungsi sebagai pemberitahuan resmi yang diedarkan secara tertulis.

"Nggak, SE itu bukan peraturan. SE itu hanya sebuah surat biasa atau pemberitahuan resmi yang diedarkan secara tertulis dan ditujukan untuk berbagai pihak. Dan itu sudah biasa di setiap instansi, lembaga atau organisasi. SE ini hanya berupa instruksi kepada bawahan, kepada staf, aparat,” ujar Jimly.

Baca Juga:Rai Mantra Usulkan Menu Harian MBG Berisi Siobak, Sate Lontong Hingga Lalapan

Sebagai konsekuensinya, Ketua Mahkamah Konstitusi pertama ini menyatakan bahwa isi kebijakan dalam SE tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, serta peraturan daerah provinsi maupun kabupaten/kota.

“Karena bukan peraturan, SE itu sifatnya tidak bisa memaksa,” katanya.

Jimly lebih lanjut menjelaskan bahwa yang memiliki kekuatan memaksa adalah peraturan, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, bupati, dan walikota yang memang sifatnya berlaku umum.

Ia menambahkan, SE dibuat untuk memudahkan pemahaman terhadap perundang-undangan yang lebih tebal.

“Kalau di perundang-undangan itu kan tebal. Tapi kalau bupati atau gubernur ngirim surat edaran cuma selembar, supaya lebih mudah dibaca orang. Oleh camat dibaca, oleh RT, RW dibaca, karena cuma selembar,” tukasnya.

Baca Juga:Orang Bali Beli Tanah dari Bule? Pengakuan Miris Maharani Kemala Soal Polemik Tanah di Pulau Dewata

Meskipun dalam praktiknya SE dianggap penting, Jimly menegaskan bahwa isinya tidak boleh menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah.

“Tidak boleh bertentangan, karena SE itu hanya surat. Jadi, isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan tapi harus bertitik tolak dari peraturan,” tandasnya.

Sebagai contoh, Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengeluarkan SE Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang menyertakan pasal pelarangan produksi dan distribusi AMDK di bawah 1 liter, bahkan dengan ancaman sanksi.

Namun, pelarangan tersebut tidak ditemukan dalam payung hukum perundang-undangan di atasnya, seperti Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2011, Perda Provinsi Bali No.1 Tahun 2017, Pergub Bali No.97 Tahun 2018, Pergub Bali No.47 Tahun 2019, Pergub Bali No.24 Tahun 2020, dan Keputusan Gubernur Bali No.381 Tahun 2021.

Peraturan-peraturan tersebut tidak secara spesifik mengatur pelarangan jenis plastik tertentu seperti AMDK di bawah 1 liter.

Jimly menegaskan bahwa SE yang dibuat oleh gubernur tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini