SuaraBali.id - Bali resmi menerapkan kebijakan tegas pasca bencana banjir melanda sejumlah wilayah di Pulau Dewata.
Pemerintah Provinsi Bali secara resmi mengumumkan moratorium pembangunan hotel, vila, restoran, dan fasilitas serupa di lahan-lahan produktif serta wilayah resapan air.
Keputusan drastis ini datang pascabanjir besar yang menewaskan 18 jiwa dan menyisakan duka mendalam dengan empat korban yang masih dalam pencarian.
Menurut Gubernur Bali, kebijakan ini adalah langkah strategis untuk menghentikan total alih fungsi lahan yang selama ini mengancam kelestarian alam Bali demi kepentingan komersial.
Baca Juga:Jadi Salah Satu Penyebab Banjir, Perda Alih Fungsi Lahan Dipastikan Akan Dibahas Tahun Ini
"Mulai tahun ini sesuai dengan Haluan 100 Tahun Bali, mulai 2025 tidak boleh lagi ada alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan komersial seperti hotel dan restoran. Instruksi telah saya berikan kepada Bupati dan Wali Kota. Setelah penanganan banjir selesai, kita akan kumpul kembali untuk memastikan tidak ada izin baru yang melanggar kebijakan ini,” tegas Gubernur Koster singkat, Senin, 15 September 2025.
Moratorium ini diputuskan setelah rapat gabungan krusial bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq, Bupati Badung, Wali Kota Denpasar, serta Forkopimda Provinsi Bali. Dalam rapat tersebut, Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq membeberkan fakta mengejutkan tentang kondisi kritis Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung.
Dari total 49.500 hektare, tutupan hutan DAS Ayung hanya tersisa 1.500 hektare, atau hanya sekitar 3 persen.
Padahal, standar ekologis minimal membutuhkan 30 persen tutupan pohon untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
“DAS Ayung sangat vital karena di bawahnya terdapat Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Jika hanya tersisa 3 persen, jelas kapasitasnya untuk menahan curah hujan ekstrem sangat rendah,” ujar Hanif.
Baca Juga:Warga Minta Tindakan Nyata Pemerintah Daerah Karena Khawatir Banjir Susulan
Meski Bali "hanya" kehilangan 459 hektare hutan dalam satu dekade terakhir, Menteri Hanif menegaskan bahwa dampaknya sangat signifikan terhadap daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, ia memberikan dukungan penuh terhadap langkah moratorium yang diambil Pemprov Bali.
“Bali ini tidak boleh sembarangan. Tata ruangnya harus dikaji ulang, karena posisinya sudah sangat rawan terhadap bencana hidrometeorologi,” katanya.
Tim dari Kementerian LHK bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota pun langsung bergerak cepat.
Pada Senin, 15 September, mereka mulai melakukan evaluasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tata ruang Bali.
Koster kembali menekankan bahwa tragedi banjir ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk menjaga lingkungan.