Perang Dunia 3 Mengancam: Benarkah Indonesia Bebas, atau Justru di Posisi Rentan?

Dan yang tak kalah penting, di mana sesungguhnya posisi Indonesia dalam skenario mengerikan tersebut?

Eviera Paramita Sandi
Senin, 23 Juni 2025 | 13:39 WIB
Perang Dunia 3 Mengancam: Benarkah Indonesia Bebas, atau Justru di Posisi Rentan?
Ilustrasi perang Iran Israel. (Foto: Ist)

"Indonesia memang tidak terikat aliansi militer manapun, yang secara teori mengurangi risiko menjadi target utama di fase awal konflik. Namun, posisi kita sebagai 'penjaga' jalur laut strategis dunia justru menjadi kerentanan terbesar. Dalam perang total, netralitas adalah sebuah kemewahan yang mahal," ujar Andi Widjajanto, dalam sebuah seminar pertahanan di Jakarta, (15/3/2024).

Kutipan tersebut membuka tabir kerentanan terbesar kita: posisi geografis yang selama ini dibanggakan justru bisa menjadi kutukan.

Selat Malaka: Berkah Sekaligus Medan Perang

Bayangkan skenario ini: konflik pecah antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Baca Juga:Imbas Serangan Israel ke Lebanon, Tiga PMI Asal Bali Dipulangkan Hari Ini

Sekitar 60% perdagangan maritim dunia dan sepertiga pengiriman minyak mentah global melewati jalur perairan Indonesia, terutama Selat Malaka.

Siapapun yang mengontrol selat ini, pada dasarnya mengontrol urat nadi ekonomi global.

Dalam situasi perang, jalur ini akan menjadi titik rebutan (choke point) yang paling strategis.

Indonesia akan berada di bawah tekanan luar biasa dari kedua belah pihak untuk berpihak. Menolak salah satunya bisa dianggap sebagai tindakan permusuhan.

Sementara mengizinkan salah satunya akan otomatis menjadikan Indonesia musuh bagi pihak lain.

Baca Juga:Banjir di Dubai, Penerbangan Emirates dari Bali Delay Beberapa Kali

Posisi netral akan terkikis dengan cepat, dan kedaulatan kita di perairan sendiri akan diuji hingga titik darah penghabisan.

Dampak ekonominya bahkan akan terasa lebih dulu sebelum satu peluru pun ditembakkan di tanah air.

Rantai pasok global akan runtuh. Impor gandum untuk jutaan bungkus mie instan akan berhenti. Impor komponen elektronik untuk ponsel dan kendaraan akan macet.

Di sisi lain, ekspor batu bara dan minyak sawit yang menjadi andalan devisa negara tidak akan bisa dikirim.

Inflasi akan meroket, kelangkaan barang terjadi di mana-mana, dan potensi PHK massal akan memicu gejolak sosial yang tak terbayangkan.

Perlu dipahami, bahwa perang tidak lagi hanya soal rudal, tapi soal siapa yang mengontrol perut dan dompet rakyat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini