Selain itu, dalam eksepsi yang disampaikan pada persidangan sebelumnya, pihak penasihat hukum juga menilai kasus ini tidak seharusnya dibawa ke ranah pidana.
Hal tersebut lantaran kasus pemalsuan ini berkaitan dengan kepemilikan tanah yang seharusnya diselesaikan dalam hukum perdata.
Kasus ini sebelumnya sudah sempat dibawa ke ranah perdata beberapaa tahun lalu.
Saat itu kasus itu sudah mencapai tahap konvensi dan rekonvensi ke Mahkamah Agung, namun kasus itu berakhir dengan status NO (Niet Ontvankelijke Verklaard), yang berarti gugatan tidak dapat diterima karena kemungkinan adanya kesalahan formil.
Baca Juga:Sudah Diberi Rp 100 Juta, Bendesa Adat Berawa Masih Minta Rp 10 Miliar
Hal tersebut membuat tim kuasa hukum mengupayakan agar kasus pidana ini dihentikan prosesnya.
Namun, mereka menyebut tidak akan mendahului putusan pengadilan untuk mengambil langkah selanjutnya.
Setelah menyampaikan eksepsi, majelis hakim masih akan mendengarkan jawaban dari eksepsi oleh Jaksa Penuntut Umumu (JPU).
Setelahnya, kemungkinan proses sidang akan memasuki putusan sela oleh majelis hakim.
Pada saat itu, kuasa hukum mengharapkan majelis hakim mengabuli permintaan eksepsi mereka.
Baca Juga:Nenek 60 Tahun di NTT Hilang 6 Hari, Mengaku Seperti Berada di Dunia Lain
“Sudah ada yurisprudensi di tahun 2001, 2004, 2007 mengatakan bahwa persoalan pemalsuan terhadap silsilah itu diproses secara perdata karena merupakan perbuatan melawan hukum. Apabila didahului dengan persoalan kepemilikan,” tutur Semuel.
Hakim Sebut Perkara Biasa
Sementara itu, Ketua Majelis Hakim pada sidang tersebut, Aline Oktavia Kurnia juga sempat menanyakan kondisi Reja di tengah persidangan tersebut.
Dia menyadari viralnya Reja di media sosial pasca persidangan sebelumnya.
Dia juga menjelaskan kepada semua terdakwa jika kasus tersebut merupakan kasus biasa, meski jumlah terdakwanya cukup banyak.
Aline tidak ingin membuat publik menganggap kasus tersebut adalah kasus yang tidak lazim karena menghadirkan banyak terdakwa termasuk lansia seperti Reja.