Bali Sumbang Rp107 Triliun Devisa Indonesia, Tapi Kemana Larinya Uang Pariwisata?

Pariwisata Bali sumbang Rp107 triliun (44%) dari total devisa pariwisata Indonesia (Rp243 triliun) di 2024. Sektor ini dominasi 66% pertumbuhan ekonomi Bali.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 04 Maret 2025 | 16:57 WIB
Bali Sumbang Rp107 Triliun Devisa Indonesia, Tapi Kemana Larinya Uang Pariwisata?
Destinasi wisata Pulau Bali. (Dok: Kemenparekraf)

SuaraBali.id - Pariwisata Bali menyumbang nyaris separuh dari total pendapatan pariwisata negara. Devisa sebesar Rp107 triliun pada tahun 2024 yang dihasilkan Bali menyumbang 44 persen terhadap total devisa pariwisata Indonesia yang mencapai Rp243 triliun.

Hal itu disampaikan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster dalam pidatonya dalam Rapat Paripurna di Kantor DPRD Provinsi Bali, Selasa (4/3/2025).

“Pariwisata Bali menyumbang devisa Rp107 triliun atau 44 persen terhadap total devisa pariwisata Indonesia sebesar Rp243 triliun,” ujar Koster dalam pidatonya.

Sementara di daerahnya sendiri, pendapatan pariwisata Bali menyumbang mayoritas terhadap pertumbuhan ekonomi Bali. Nilai tersebut mengambil sekitar 66 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Bali.

Baca Juga:Jadwal Imsakiyah 4 Ramadan 1445 Hijriah di Kota Denpasar, Selasa 4 Maret 2025

Dengan porsi besar tersebut, Koster ingin melakukan transformasi untuk menata sumber pertumbuhan ekonomi Bali yang berimbang antara sektor pariwisata dan sektor non-pariwisata.

“Penting bagi kita semua bahwa pariwisata Bali memberi kontribusi yang sangat tinggi yaitu 66 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Bali,” imbuhnya.

Sumbangan besar tersebut juga disebabkan oleh meningkatnya angka wisatawan yang datang ke Bali pada tahun 2024. Angka wisatawan asing yang mengunjungi Bali pada tahun 2024 mencapai 6,4 juta orang.

Rapat Paripurna di Kantor DPRD Provinsi Bali, Selasa (4/3/2025). [Suara.com/Putu Yonata Udawananda]
Rapat Paripurna di Kantor DPRD Provinsi Bali, Selasa (4/3/2025). [Suara.com/Putu Yonata Udawananda]

Jumlah tersebut akhirnya melampaui angka wisatawan asing pada tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai 6,25 juta orang.

Namun, angka wisatawan domestik masih belum menyentuh angka sebelum pandemi. Jumlah kunjungan fomestik yang mencapai 9,6 juta orang pada tahun 2024 masih kalah dengan angka sebelum pandemi yang mencapai 10,5 juta orang.

Baca Juga:Layanan Internet Pascabayar Mulai Dilirik Anak Muda Dan Pekerja Kreatif di Bali Nusra

Koster menduga belum pulihnya ekonomi nasional menjadi penyebab belum bangkitnya angka wisatawan domestik. Selain itu, harga tiket pesawat ke Bali yang cukup tinggi juga dinilai menjadi faktor.

“Jadi wisdom (wisatawan domestik) ini belum pulih, usut punya usut ternyata memang ekonomi nasional Indonesia belum pulih betul,” tuturnya.

“Tiket penerbangan ke Bali cukup tinggi hingga kurang memungkinkan masyarakat lokal terbang ke Bali berwisata,” imbuh Koster.

Sudahkah Bali Mendapatkan Manfaat Maksimal?

Sumbangsih pariwisata Bali bagi devisa nasional cukup besar, namun apakah devisa yang besar dari pulau Dewata ini sudah berdampak maksimal bagi masyarakat Bali sendiri?

Melansir ulasan dari laman Warmadewa Research Centre, pemerataan hasil devisa di Bali menjadi isu krusial. Pemerataan pariwisata di Bali menjadi topik penting mengingat dominasi kawasan tertentu seperti Kuta, Seminyak, dan Ubud dalam menarik wisatawan. 

Namun di sisi lain pemerataan hasil devis aitu dirasa hasilnya tidak merata bagi sebagain Pembangunan di daerah-daerah tertentu di Bali.

Inilah contoh nyata yang menunjukkan bagaimana manfaat devisa pariwisata Bali belum merata di setiap daerah:

Kesenjangan Ekonomi antara Selatan dan Utara Bali.

Perbedaan kawasan Selatan dan Utara Bali dapat dilihat jelas. Di kawasan selatan seperti Kuta, Seminyak, Nusa Dua, hotel, restoran dan kawasan wisata belanja menjamur yang berdampak pada peningkatan perekonomian, sedangkan wilayah utara seperti Buleleng kurang terkenal sehingga wisatawannya pun sedikit. Akibatnya pendapatan pariwisatanya pun rendah. 

Perbedaan Infrastruktur dan Fasilitas:

Di wilayaj berkembang seperti Ubud dan Jimbaran, terdapat infrastruktur yang baik seperti jalan yang bagus, jaringan listrik yang stabil, dan akses ke air bersih. Fasilitas umum seperti rumah sakit dan sekolah juga lebih baik. Berebeda dengan di kawasan Karangasem dan Jembrana, infrastruktur masih kurang memadai. Jalan-jalan banyak yang rusak, akses listrik dan air bersih terbatas, dan fasilitas umum masih kurang.

Ketimpangan dalam Pendidikan dan Pelatihan:

Di daerah-daerah seperti Kuta dan Nusa Dua yang menjadi kawasan pariwisata utama, banyak tersedia program pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata, seperti kursus bahasa Inggris, pelatihan perhotelan, dan kursus pemandu wisata. Namun berbanding terbalik dengan di wilayah lain seperti Bali Timur dan utara. Hal ini membuat masyarakat lokal kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di sektor pariwisata.

Dampak Lingkungan dan Sosial:

Di daerah wisata intensif seperti Kuta dan Legian banyak ditemui masalah lingkungan seperti polusi dan kemacetan. Selain itu terjadi juga gentrifikasi yang membuat harga properti dan biaya hidup naik, membuat masyarakat lokal kesulitan. Sedangkan di daerah lain yang kurang berkembang mungkin tidak mengalami masalah lingkungan yang sama, tetapi mereka juga tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang cukup dari pariwisata.

Kontributor : Putu Yonata Udawananda

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini