Jaksa menilai permintaan uang Rp10 miliar dari terdakwa terhadap saksi Andianto tanpa menyampaikan ke perangkat desa lainnya atau masyarakat dianggap menyalahgunakan kekuasaan sebagai Bendesa Adat.
Demikian pula unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, serta unsur perbuatan yang berlanjut.
Maka dari itu, JPU berkesimpulan perbuatan Ketut Riana dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemerasan dalam jabatan secara berlanjut.
Kasus yang melibatkan terdakwa Ketut Riana tersebut bermula ketika PT Berawa Bali Utama berencana melakukan investasi berupa pembangunan apartemen dan resort di Desa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Kabupaten Badung.
Baca Juga:Selama 10 Tahun, Luhut Merasa Paling Susah Urus Sampah di Bali : Aduh Ampun
Kemudian, perusahaan itu menunjuk PT Bali Grace Efata dengan direkturnya saksi Andianto Nahak T. Moruk (AN) untuk mengurus perizinannya, dengan nilai kontrak sebesar Rp3,6 miliar.
Dalam dakwaan Jaksa disebutkan terdakwa beberapa kali meminta uang kepada saksi dengan dalih dana sumbangan (dana punia) sebesar Rp10 miliar.
Hingga pada November 2023, terdakwa meminta uang sebesar Rp50 juta untuk bayar utang kepada warga Berawa dan imunisasi cucunya. Permintaan itu dipenuhi oleh saksi dan uang diserahkan di Starbucks Simpang Dewi Sri, Jalan Sunset Road Legian, Kuta, tanpa kuitansi.
Kedua, pada 1 Mei 2024, terdakwa meminta uang Rp10 miliar, namun saksi hanya menyanggupi Rp100 juta. Saat penyerahan uang Rp100 juta itu di Caffe Casa Bunga, Renon, Denpasar, penyidik Kejati Bali menangkap terdakwa dan barang bukti uang. (ANTARA)
Baca Juga:Pebisnis Dirgantara Diharapkan Datang di Bali International Airshow Setelah 20 Tahun Absen