Miris Anak SMP di Lombok Jadi Pemandu Lagu Demi Belanja Online

Pekerjaannya yaitu menemani tamu minum dengan tarif yang berbeda-beda mulai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 03 Juli 2024 | 18:09 WIB
Miris Anak SMP di Lombok Jadi Pemandu Lagu Demi Belanja Online
ILUSTRASI - Para pemandu lagu saat di salah satu tempat hiburan (Istimewa)

SuaraBali.id - Anak di bawah umur khusus SMP dan SMA yang bekerja sebagai pemandu lagu atau partner song masih marak terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kondisi ini disebut karena tuntutan kebutuhan anak-anak yang tidak bisa dipenuhi oleh orangtuanya. 

Aktivis anak di NTB, Joko Jumadi mencari tahu penyebab mereka melakukan hal tersebut meski secara usia masih belum cukup umur.

“Saya melakukan partisipatif sama anak-anak itu. ajak ngobrol dan apa sih yang menjadi persoalan. Faktor utamanya adalah belanja online. Gaya hidup anak-anak itu tinggi,” katanya.

Ia mengatakan, tindakan itu dilakukan dinilai sebagai sebuah jalan pintas untuk bisa mendapatkan finansial memenuhi kebutuhannya.

Baca Juga:Laporkan Mantan Bupati, Istri Sah Bongkar Dugaan Pernikahan Siri di Penginapan

Pekerjaannya yaitu menemani tamu minum dengan tarif yang berbeda-beda mulai Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. 

“Tapi itu boleh digrepe-grepe (pegang-pegang red),” ujarnya. 

Ditegaskannya, usia anak-anak yang ditemukan yaitu 15 tahun. Hal ini akan mempengaruhi anak-anak putus sekolah.

“Ada SMA dan SMP. Ada yang rata-rata kemudian putus sekolah dan memilih untuk aktivitas itu,” tegasnya. 

Untuk aktivitas tersebut, dikerjakan setelah pulang sekolah yaitu sekitar pukul 15.00 WITA hingga malam hari. Lokasi yang banyak ditemukan café yang memperkerjakan anak-anak yaitu di wilayah Lombok Barat. 

Baca Juga:Jemaah Haji Asal NTB Ini Belanjakan Rp 10 Juta Demi Bawa Oleh-oleh

“Kalau café-café itu berbeda dengan yang di Senggigi. Kalau di Senggigi itu kan mulai pukul 11 malam itu baru mulai,” kata Ketua LPA Kota Mataram ini. 

Rata-rata korban berasal dari Lombok Tengah, Lombok Barat dan daerah lainnya. Dan bahkan aktivitas anak ini tidak diketahui oleh orangtuanya.

“Misalnya mereka rata-rata kos dan tidak menyampaikan ke orangtuanya bahwa bekerja di restoran sebagai pelayan,” katanya. 

Sebelumnya, korban pekerja anak ini berada di bawah tanggung jawab manajemen café. Gaji mereka ditentukan dari jumlah botol yang dibuka untuk  tamu. Tarifnya berbeda-beda tergantung dari jenis botol minuman yang dibuka. 

Hanya tren yang terjadi sekarang, mereka freelance. Artinya, anak-anak tersebut bekerja jika ada panggilan.

“Mereka on call. Tidak ada di lokasi. Pelanggan bisa langsung menghubungi mereka,” ucapnya. 

Untuk mengantisipasi makin marak terjadi, pola asuh didalam keluarga harus dimaksimalkan. Selain itu, pengasuhan untuk anak mulai pemerintah pusat hingga daerah disebut tidak ada.

“Ini sudah ada yang berkeluarga pernah nggak dapat pelatihan tentang parenting,” katanya. 

Sedangkan aparat kepolisian, harus lebih sering patroli. Jika ditemukan maka orangtua harus dipanggil.

“Jadi yang dihukum orangtuanya, bukan anaknya,” ucapnya.


Kontributor Buniamin 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak