SuaraBali.id - Pesan penting telah diumumkan oleh tiga sosok berpengaruh di negeri ini tentang krisis langka yang membayangi dunia.
Resesi. Apa itu resesi dan bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Tiga orang penting di dunia ini telah mengingatkan agar semua pihak mewaspadai resesi global. Ekonomi dunia diyakini akan mengalami resesi tahun depan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan bahaya resesi tersebut.
Satu diantara risiko yang mungkin adalah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah membenarkan bahwa banyaknya PHK akan menjadi salah satu dampak terbesar jika resesi menghampiri ekonomi Indonesia.
"Dari pengalaman 2020 itu paling terdampak kalangan menengah ke bawah. Ketika perekonomian terkontraksi maka akan banyak perusahaan tertutup sehingga banyak PHK," tutur Piter.
PHK membuat orang kehilangan sumber pendapatan sehingga daya beli melemah dan kemiskinan pun meningkat.
"PHK akan mengurangi daya beli dan kualitas hidup mereka. Kemiskinan pun meningkat," imbuhnya.
Kini resesi ekonomi menjadi hantu menyeramkan bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Diketahui bahwa ekonomi dunia saat ini memang sedang tak baik-baik saja, terutama selepas pandemi Covid-19 mereda.
Dilihat dari perkembangan ekonomi global yang mengkhawatirkan, banyak yang semakin sadar bahwa jurang krisis dan resesi ada di depan mata.
Lalu apa yang akan terjadi terhadap warga negara Indonesia bila resesi melanda?
Saat resesi ini terjadi, maka ekspor Indonesia akan terguncang karena pasar dunia yang lesu. Ekspor sendiri berkontribusi sebesar 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022.
Kemerosotan ekspor akibat resesi dunia tentunya akan memangkas PDB Indonesia.
Eksportir akan terkena dampak terdahulu akibat resesi ini, permintaan yang sepi akan mempengaruhi pendapatan perusahaan.
Ketika pendapatan perusahaan berpengaruh tetapi beban operasional tetap harus berjalan seperti listrik, sewa gedung, dan karyawan. Maka yang terjadi perusahaan akan mengurangi beban.
Kapasitas produksi pun dikurangi mengikuti permintaan yang turun. Selain itu, karyawan pun jadi korban dengan adanya pemotongan gaji.
Hingga yang lebih parah akan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dan pada akhirnya daya beli akan semakin rendah karena pendapatan yang terpotong atau bahkan terputus.
Tingkat pengangguran pun menjadi bertambah. Sudah pasti saat pendapatan berkurang, pengeluaran hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
Masalah makin rumit ketika ada utang yang belum dibayar dan sudah segera jatuh tempo.
Perusahaan akan melakukan berbagai upaya untuk menutup pinjaman. Gali lubang tutup lubang akan jadi pilihan yang umum untuk segera membayar utang yang akan jatuh tempo.
Apalagi saat terjadi resesi, menjual aset di harga terbaik akan sulit. Sebab daya beli masyarakat sedang lesu saat itu.
Kemudian jika melihat kondisi saat ini, resesi dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral yang agresif.
Sehingga bisa mengerek suku bunga kredit yang membuat utang menjadi lebih mahal. Di sisi lain bunga deposito pun bisa naik yang membuat investasi di bank lebih menguntungkan dibandingkan investasi di aset risiko yang akan terpukul.
Jadi daya beli masyarakat akan terpukul karena pendapatan yang berkurang, ini berisiko meningkatkan angka kemiskinan.