Ketika pendapatan perusahaan berpengaruh tetapi beban operasional tetap harus berjalan seperti listrik, sewa gedung, dan karyawan. Maka yang terjadi perusahaan akan mengurangi beban.
Kapasitas produksi pun dikurangi mengikuti permintaan yang turun. Selain itu, karyawan pun jadi korban dengan adanya pemotongan gaji.
Hingga yang lebih parah akan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dan pada akhirnya daya beli akan semakin rendah karena pendapatan yang terpotong atau bahkan terputus.
Tingkat pengangguran pun menjadi bertambah. Sudah pasti saat pendapatan berkurang, pengeluaran hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
Masalah makin rumit ketika ada utang yang belum dibayar dan sudah segera jatuh tempo.
Perusahaan akan melakukan berbagai upaya untuk menutup pinjaman. Gali lubang tutup lubang akan jadi pilihan yang umum untuk segera membayar utang yang akan jatuh tempo.
Apalagi saat terjadi resesi, menjual aset di harga terbaik akan sulit. Sebab daya beli masyarakat sedang lesu saat itu.
Kemudian jika melihat kondisi saat ini, resesi dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral yang agresif.
Sehingga bisa mengerek suku bunga kredit yang membuat utang menjadi lebih mahal. Di sisi lain bunga deposito pun bisa naik yang membuat investasi di bank lebih menguntungkan dibandingkan investasi di aset risiko yang akan terpukul.
Jadi daya beli masyarakat akan terpukul karena pendapatan yang berkurang, ini berisiko meningkatkan angka kemiskinan.