Pada pertengahan tahun 1950-an Jakarta memiliki jumlah populasi hampir dua juta jiwa. Selang tiga dekade kemudian jumlahnya meningkat tajam menjadi 6,5 juta jiwa. Dan berdasarkan sensus tahun 2020 populasi di Jakarta sebanyak 10,56 juta jiwa.
Meskipun dikatakan terjadi tren penurunan pertumbuhan penduduk di Jakarta, tetapi tetap saja penumpukan jumlah populasi sebesar itu tidak sebanding dengan ruang yang terbatas.
Menjadi ruwet
Penumpukan penduduk di kota besar di Indonesia sebenarnya terjadi karena adanya penggumpalan kekayaan di satu atau dua titik wilayah saja. Sehingga ketika semua orang lebih banyak menetap di satu atau dua titik wilayah (kota besar) membuat tradisi mudik Lebaran yang sebenarnya peristiwa sederhana menjadi ruwet.
Terlebih menurut data yang dirilis oleh Balitbang Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa akan ada sekitar 85,5 juta penduduk Indonesia yang mudik di tahun 2022.
Dari angka tersebut diperkirakan 58 persen lebih berasal dari Pulau Jawa. Sementara sisanya berasal dari semua pulau di Indonesia.
Jumlah pemudik sebanyak itu tentu memerlukan pengaturan sarana transportasi massal dan manajemen lalu lintas yang presisi.
Saya membayangkan jika negara mampu untuk menata masyarakatnya agar bisa oke di wilayahnya masing-masing mungkin tradisi mudik Lebaran tidak akan terlalu dikaitkan dengan problem kepadatan lalu lintas, transportasi, dan permasalahan lainnya.
Tetapi mudik sebagai budaya besar tetap harus berlangsung dengan baik sebesar apapun tantangan yang dihadapi. Jangan sampai kompleksitas persoalan yang rutin hadir ketika mudik membuat kita mendukung anggapan bahwa pulang kampung bisa dilakukan kapan saja.
Pulang kampung dan mudik Lebaran secara makna memang punya kesamaan. Yakni sama-sama pulang menuju kampung halaman.