Fenomena Mudik Dan Pengaruh Kota Besar di Indonesia

Pulang kampung dan mudik Lebaran secara makna memang punya kesamaan. Yakni sama-sama pulang menuju kampung halaman.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 26 April 2022 | 12:00 WIB
Fenomena Mudik Dan Pengaruh Kota Besar di Indonesia
ILUSTRASI - Pemudik memikul kardus menuju KM Labobar di Pelabuhan Pantoloan Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, Sabtu 23/4/2022. Pemudik tahun 2022, melonjak hingga 100 persen setelah dilakukan pembatasan selama dua tahun dalam masa pandemi covid 19. Antara/Muhammad Izfaldi

Dari angka tersebut diperkirakan 58 persen lebih berasal dari Pulau Jawa. Sementara sisanya berasal dari semua pulau di Indonesia.

Jumlah pemudik sebanyak itu tentu memerlukan pengaturan sarana transportasi massal dan manajemen lalu lintas yang presisi.

Saya membayangkan jika negara mampu untuk menata masyarakatnya agar bisa oke di wilayahnya masing-masing mungkin tradisi mudik Lebaran tidak akan terlalu dikaitkan dengan problem kepadatan lalu lintas, transportasi, dan permasalahan lainnya.

Tetapi mudik sebagai budaya besar tetap harus berlangsung dengan baik sebesar apapun tantangan yang dihadapi. Jangan sampai kompleksitas persoalan yang rutin hadir ketika mudik membuat kita mendukung anggapan bahwa pulang kampung bisa dilakukan kapan saja.

Pulang kampung dan mudik Lebaran secara makna memang punya kesamaan. Yakni sama-sama pulang menuju kampung halaman.

Tetapi dari aspek rasa dan derajat nilai jelas berbeda.

Ketika dalam bulan-bulan biasa seseorang tidak pulang kampung tentu tidak akan jadi masalah. Tetapi pada momentum Idul Fitri, apakah ada manusia Indonesia yang rela mendengarkan gema takbir di kota atau di wilayah yang jauh dari kampung halamannya?

Jawabannya jelas tidak ada. Ini karena masyarakat Indonesia adalah manusia-manusia yang mencintai dan menjunjung keakraban sosial.

Dimensi yang luas

Mungkin bagi sebagian besar penduduk di belahan bumi lain seperti Eropa, Timur Tengah dan Amerika, “pulang kampung” bisa dilakukan kapan saja karena tujuannya cukup dengan berkunjung ke tempat orang tuanya.

Tetapi bagi orang Indonesia yang memiliki keakraban sosial cakupan dimensinya bisa lebih luas lagi. Tidak cukup hanya bercengkerama dengan ayah ibu atau dengan keluarga besar, tetapi juga dengan tetangga serta dengan sahabat-sahabat ketika kecil.

Itu semua adalah bentuk keakraban sosial yang mengakar dan hanya dapat dijumpai secara eksklusif dalam peristiwa Lebaran di Indonesia.

Di lain sisi guyub tahunan ketika Lebaran jangan diartikan bahwa manusia Indonesia tidak ingin dekat dengan keluarga dan kampung halamannya setiap saat.

Kalau dituruti, mungkin banyak di antara orang Jawa Timur atau orang dari luar Jawa yang bekerja di Jakarta untuk pulang setiap bulan atau bahkan setiap minggu.

Tetapi karena itu sulit untuk dilakukan, akhirnya mereka rela menjauh menanggalkan dahaga rindu selama kurang lebih setahun lamanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini