Saudara kandung Arini pun terkenal sebagai penabuh dan penari.
Meskipun dibesarkan di keluarga seniman, Arini menceritakan dirinya baru diizinkan mulai belajar menari oleh Wayan Rindi ketika telah berusia tujuh tahun. Sebelumnya dia hanya menonton pamannya berlatih tari.
Ia pun begitu senang mendapatkan kesempatan untuk kali pertama pentas tari Condong ketika kelas 3 SD serangkaian acara perpisahan di SD Sumerta, Denpasar. Pengalaman tersebut menjadi momentum berharga yang tak terlupakan baginya karena saat itu sangat jarang ada anak seusianya yang belajar dan membawakan tari Condong.
Anak keempat dari enam bersaudara ini selain belajar tari dari pamannya, juga sering membantu Rindi yang memiliki Kursus Tari Wari untuk mengajar tari bagi para siswa yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali. Bahkan, saat duduk di bangku SMP, Arini telah diminta untuk mengajar tari bagi putra-putri keluarga Puri Kelodan Karangasem dan itu dilakoni ketika musim libur sekolah.
Tak hanya belajar menari dengan keluarga terdekat, sejak SMP, Arini sangat antusias belajar menari dari sejumlah guru tari di luar desa dengan diantar oleh ayahnya. Diantaranya dia belajar tari Demang Miring dengan Jero Puspawati dari Puri Satria, Denpasar dan belajar tari Wiranata dengan Nyoman Ridet dari Kaliungu, Denpasar.
Kepiawaiannya dalam menari semakin terasah dengan menempuh pendidikan ke sekolah Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada 1960 hingga 1963. Kemudian dilanjutkan di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar mulai tahun 1967.
Saat di Kokar Bali, dia banyak belajar teori dan teknik tari, serta mendapatkan dorongan yang kuat agar terus menekuni seni dari I Nyoman Kaler, guru tari yang sangat dihormatinya.
Semasa bersekolah di Kokar Bali, diapun merasa terpanggil untuk belajar tari Legong Keraton Saba langsung dari para pelaku seni di Desa Saba, Kabupaten Gianyar Begitu tamat di Kokar, Arini juga langsung dipercayakan menjadi guru di sekolah tersebut dan berstatus sebagai guru PNS.
Tanamkan kecintaan seni
Sebagai seorang maestro seni tari, ibu dari empat putra-putri ini merasa terpanggil bisa melanjutkan kiprah pamannya, Wayan Rindi, untuk bisa mengajar tari Bali pada generasi muda setelah Rindi meninggal pada 1976.