Hingga akhirnya, Kepala SMPN 2 Kerambitan saat itu datang ke pondok untuk memberikan saran kepada H. I Ketut Djamal. Dimana ternyata Kasek tersebut merupakan keponakan dari Sofia Dewa Pere yang sebelumnya memberikan lahan untuk membangun pondok.
Ia menawarkan agar sebaiknya membangun SMP Islam mengingat jumlah santri yang banyak dan jarak dari pondok ke sekolah juga lumayan jauh. Akan tetapi karena SDM yang kurang saat itu, pihak pondok masih memikirkan saran tersebut. Kabar baiknya, Kasek SMPN 2 Kerambitan menawarkan SDM guru untuk membantu mengajar di sekolahnya nanti.
Hingga akhirnya, pada 9 Agustus 1996 dibangunlah Lembaga pendidikkan SMP Tsanawiah yang kemudian beroperasi di tahun berikutnya. Tahun 2000 menjadi angkatan pertama kelulusannya.
“Setelah itu, dari salah satu Kepala SMA juga datang ke sini untuk menawarkan hal yang sama. Mereka juga mensupport kita waktu itu dari segi SDMnya. Dan 1 Juli tahun 2000 Alyah beroperasi,” ungkapnya.
“Jadi memang sejak kami mulai lahir hingga sekarang antara Hindu dan Islam tidak ada perbedaan di sini. Kita tidak ada rencana menerima berapa guru yang Non-Muslim dan berapa guru Muslim yang terima. Namun ketika mereka ada niat untuk mengajar anak-anak kami. Kita langsung terima di sini,” tegasnya.
Kini sudah ada 385 santri yang mengenyam Pendidikan di Ponpes ini. Bahkan, mereka juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, salah satunya dari Aceh, Sumatera Utara.
Dalam keseharian mereka selalu mengedepankan toleransi terhadap agama lain. Terutama kepada Guru Hindu dan juga masyarakat sekitar. Selain itu ponpes juga membiasakan diri untuk menerapkan setidaknya tiga Bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Arab hingga Bahasa Inggris.
Diasuh Oleh 16 Guru Beragama Hindu

Ni Made Suardani merupakan salah satu guru Non-Islam yang menjadi tenaga pendidik di Ponpes Bali Bina Insani. Setidaknya ia sudah mengajar selama 17 tahun di sekolah berbasis agama Islam ini.
Suardani menegaskan, meskipun berbeda agama sekolah ini menerapkan toleransi yang sangat kuat sejak baru berdiri.