Merajut Harmoni Dan Menuai Damai Hindu-Islam di Ponpes Bali Bina Insani Tabanan

Meskipun berbeda agama, antara guru dan murid di sekolah ini menerapkan toleransi yang sangat kuat sejak baru berdiri.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 20 Oktober 2021 | 11:10 WIB
Merajut Harmoni Dan Menuai Damai Hindu-Islam di Ponpes Bali Bina Insani Tabanan
Ponpes Bali Bina Insani , Foto : Suara Bali / Putu Sastra Putra

Lanjutnya, saat itu nama dari Lembaga yang dibangun adalah Pondok Yatama yang artinya tempat tinggal untuk anak-anak yatim. Nama ini memang sudah direncanakan sebelumnya untuk memberikan kesan khusus.

Saat itu, keadaan dan kondisi memang sangat susah apalagi dengan jarak ke Kota Tabanan yang sangat lumayan jauh. Kemudian, dari waktu ke waktu keakraban dengan warga sekitar sedikit demi sedikit terjalin hingga akhirnya merasa seperti menjadi keluarga.

Bahkan, sering kali warga sekitar membantu dalam hal bahan pokok makanan seperti contohnya sayuran.

“Jadi sejak saat itu memang kita sudah melakukan apa yang dilakukan seperti biasanya. Dan sejak itu juga, persaudaraan Hindu dengan Islam di lembaga kami sudah sangat baik. Itu tidak kami rencanakan namun merupakan pertemuan dan masih terjalin hingga saat ini,” lanjutnya.

Selanjutnya, mereka kemudian semakin berkembang dan dua tahun kemudian atau pada tahun 1993 jumlah santri sudah bertambah sekitar 300 %. Sehingga hal ini membuat rumah dengan luas sekitar 2 are ini tidak cukup untuk menampung para santri. Kelanjutannya I Ketut Djamal mulai mencari lahan yang cocok untuk membangun ponpes yang layak.

Ketut Djamal yang dibantu dengan salah satu tokoh setempat memutuskan untuk membeli lahan yang berada di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan atau yang ditempati saat ini.

Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani. Foto : Suara Bali / Putu Sastra Putra
Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani. Foto : Suara Bali / Putu Sastra Putra

Setidaknya, proses pembelian lahan ini terjadi dalam dua tahun untuk lahan yang luasnya hampir 1 hektare ini. Sambil menunggu proses tersebut, aktivitas para anak yang tergabung dalam keluarga Pondok Yatama ini berjalan seperti biasa.

Ada yang sekolah di SD negeri, SMP Negeri, hingga SMA/SMK terdekat. Kemudian, pada 1996 para santri begitu juga dengan pendiri Lembaga akhirnya pindah ke Pondok Pesantren Bali Bina Insani.

“Jadi tahun 1996 itu kita mulai pindah dengan jalan kaki. Saat pindah juga warga sekitar sangat antusias menyambut kami,” kenangnya.

Rajutan keakraban itu berlanjut, semenjak baru pindah respons dari masyarakat sangat positif bahkan pesantren sering mendapat kunjungan. Sejak saat itu, Pondok ini juga terus berkembang setiap tahunnya, dari jumlah santri yang awalnya hanya 40 orang berkembang menjadi 100 hingga 200 orang santri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak