Ubud, Sebuah Desa di Bali yang Tersohor di Dunia, Ini Sejarahnya dari Masa ke Masa

Ubud bukan saja menjdi kampung seniman karena didukung nuansa spiritual, nuansa alam, kehidupan budaya saja (culture life) tetapi juga karena dukungan industri pariwisata pada

Eviera Paramita Sandi
Senin, 11 Oktober 2021 | 10:45 WIB
Ubud, Sebuah Desa di Bali yang Tersohor di Dunia, Ini Sejarahnya dari Masa ke Masa
Tatanan sawah dengan irigasi sistem subak di Ubud, Bali. [shutterstock]

Ubud dengan Dunia Luar   Ketertarikan orang Eropa, Amerika, untuk datang ke Bali dan Ubud telah memberikan peluang bagi pemerintah Belanda untuk membuat travel dan penginapan. Salah satunya adalah Bali Hotel. Banyak wisatawan yang datang ke Ubud begitu juga dengan pejabat Hindia Belanda, seperti Ratu Belanda Yuliana. Tamu pemerintahan Belanda ini dijamu di Puri Ubud oleh Tjokorde Gede Agung Sukawati, baik jamuan dengan makanan Bali, tari-tarian maupun pajangan hasil karya seniman setempat.

Tinggalnya Para Seniman   Ubud menjadi daya tarik tersendiri bagi para seniman manca negara terutama setelah Kemedekaan di samping alamnya yang menawan dan adat-istiadatnya yang menarik. Seniman yang tingal di Ubud seperti kita kenal yaitu Rudolf Bonnet, Han Snel Antonia Blanco. Hal ini juga merupakan peranan dari bangsawan Puri Agung Ubud, Tjokorde Gede Agung Sukawati yang menghibahkan lahan miliknya kepada para seniman. Tidak kalah penting juga para seniman nasional yang memilih tinggal di Ubud, baik sementara waktu atau jangka lama, seperti Affandi, Wa Fong, Abdullah dan banyak lagi. Hal ini juga membangkitkan para seniman lokal untuk berkarya.

Museum Ratna Wartha

Begitu banyaknya seniman yang datang ke Ubud, terutama seniman lukisan sehingga Ubud dikenal sebagai kampung seniman. Banyak wisawatan berkunjung ke Ubud melihat hasil karya para seniman seperti Charlie Caplin, aktor Amerika dll. Sehingga pemerintah pada saat itu, yaitu Menteri Pendidikan, Prof. Mohamad Yamin tahun 1960 mendukung didirikannya Museum Seni Lukisan yang dinamakan Ratna Wartha yang menampung hasil karya putra daerah. Pada saat itu juga telah terbangun Istana Tampak Siring sehingga Ubud menjadi tujuan kunjungan tamu negara seperti: Nehru, Chekov (Rusia), Kennedy (Amerika), Ratu Elizabeth dan banyak lagi tamu negara lainnya. Tidak saja tamu negara, kunjungan para wisatawan pun meningkat sehingga tumbuhlah di sekitar Puri Agung Ubud hotel-hotel seperti Hotel Campuhan, Hotel Ubud, Hotel Mutiara, Hotel Mustika bagi wisatawan yanga akan tinggal di Ubud. Tidak itu saja, sekitar Ubud antara jalan menuju Ubud dan Tampaksiring juga muncul artshop-artshop dan warung makan.

Mengenang Waktu Kecil

Saya dilahirkan tahun 1962. Saya mengenal Ubud pada tahun 1970. Tidak banyak kendaraan saat itu. Kendaraan umum yang ada adalah bus chevrolet dimana setiap beberapa kilometer harus diisi air lagi karena generatornya panas. Namun memasuki Ubud dari Desa Sakah, sudah terasa udaranya sejuk baik pagi maupun siang hari karena dipinggir jalan banyak pohon, terutama pohon leci. Pohon ini juga ada di depan rumah kami. Kami punya 4 pohon besar pohon leci. Pada saat itu hanya beberapa artshop yang ada, terutama di Mas. Artshop tersebut adalah artshop Ida Bagus Nyana & Son, Ida Bagus Anom di Ubud. Ada juga artshop yang menjual lukisan seperti Neka, Adipati Soeryo.

Pemandangan persawahan masih terlihat dengan bentangan Gunung Agung yang tampak menakjubkan. Kalau kita makan, ada warung nasi campur di pinggir jalan di Teges yang sekarang sudah 3 generasi berjualan dengan pengolahannya saya lihat tetap seperti yang lampau. Di pusat desa Ubud, antara Puri dan pasar dulu ada penjual nasi ayam garang asem, tepatnya di depan Puri Ubud.

Pedagangnya bernama Gusti Aji Negari dan sekitar Wantilan ada pedagang makanan Bali. Ada wantilan besar yang sekarang bisa kita lihat. Tempat itu pada waktu dulu oleh masyarakat dipergunakan untuk persiapan upacara dan sabungan ayam. Di Wantilan ini banyak terdapat burung merpati yang turun ke jalan di depan Puri, jumlahnya hampir ratusan ekor. Kalau sore kita bisa melihat ada banyak petani yang menggotong padi dan hasil perkebunannya. Sekarang cerita ini banyak kita lihat ada pada lukisan yang terpampang di museum atau artshop.

Sore hari biasanya masyarakat berjalan kaki menuju tempat pemandian di Sungai seperti Campuhan, Mumbul ataupun pancuran yang airnya masih jernih. Biasanya air dari beberapa mata air ini dibawa pulang untuk air minum tanpa dimasak. Malam hari udaranya dingin sekali di Ubud. Penerangan yang ada hanyalah lampu sentir dan petromak hanya sampai jam 8 malam saja karena ada keterbatasan minyak saat itu. Listrik belum ada. Kalau belajar pada malam hari, maka besok paginya muka ini sudah kena abu hitam karena memakai penerangan sentir. Hanya ada satu-satunya tempat yang memiliki penerangan listrik pada saat itu yakni Artshop Adipati Soeryo. Pemilik tempat ini memakai generator dan hidup / buka sampai jam 9 malam.

Aliran Baru Young Artists

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak