SuaraBali.id - Pantai Lovina atau Lovina terletak sekitar 9 km sebelah barat kota Singaraja. Termasuk salah satu destinasi wisata unggulan di Bali Utara. Tempat wisata ini khas, yang menyuguhkan alam laut serta gerak lincah lumba-lumba mendekati perahu nelayan pembawa wisatawan.
Dikutip dari Beritabali.com, jaringan SuaraBali.id, berbincang soal sejarah Lovina, tentunya tidak bisa lepas dengan sosok Anak Agung Panji Tisna. Yang terkadang ditulis sebagai Pandji Tisna. Ia adalah keturunan dinasti raja Buleleng dan menjadi penulis novel kenamaan Sastra Indonesia. Seperti Sukreni Gadis Bali, Dewi Karuna: Salah Satu Jalan Pengembara di Dunia, dan masih banyak lagi. Kehadirannya di dunia sastra Tanah Air memberikan warna tersendiri, apalagi di masa itu lebih banyak sastrawan dihasilkan dari Sumatera.
Sekitar 1950-an, Anak Agung Panji Tisna travelling ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Yang membuatnya jatuh hati adalah kehidupan masyarakat di India.
Ia tinggal beberapa pekan di Mumbai, yang dahulu disebut sebagai Bombay. Cara hidup dan kondisi penduduk di sana mempengaruhi cara pikir dan wawasan beliau ke depan untuk Bali, terutama pembangunan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Buleleng.
Baca Juga:Wisata Bali: Presiden Baywatch Dikira Hippies, Begini Sejarah Tim Penyelamat Pantai Kuta
Panji Tisna melihat suatu tempat yang ditata indah untuk orang-orang berlibur di pantai. Tanah itu memiliki kesamaan dengan tanah miliknya di pantai Tukad Cebol, Buleleng, Bali Utara Dengan lokasi elok, terletak di pertemuan dua aliran sungai.
Inspirasi Panji Tisna muncul. Ia ingin membangun sebuah peristirahatan seperti itu.
Kembali dari luar negeri pada 1953, Anak Agung Panji Tisna menyatakan inspirasinya dan mulai membangun di tanah miliknya, sebuah pondok bernama "Lovina".
Inilah bungalow atau villa bagi para pelancong. Kekinian disebut turis atau wisatawan. Ada tiga kamar yang disiapkan, serta sebuah restoran kecil di tepi laut.
Beberapa pengamat bisnis menyangsikan kesuksesannya, terlalu dini untuk membuat usaha sejenis itu di pantai terpencil seperti pantai di Tukad Cebol.
Baca Juga:Wisata Bali: Bantuan Tak Terduga Diharap Membantu Satwa dan Taman Alam Sangeh
Pengamat budaya lokal menyatakan, "Lovina" adalah sebuah kata asing, bukan bahasa Bali. Apalagi, tidak ada aksara "v" dalam kosakata mereka. Komentar lain mengatakan dengan tegas, jangan menggunakan kata "Lovina", sebaiknya dihapus saja.
Pada 1959, Anak Agung Panji Tisna menjual "Penginapan Lovina" kepada kerabatnya yang lebih muda, Anak Agung Ngurah Sentanu, 22 tahun, sebagai pemilik dan manajer.
Bisnis ini berjalan cukup baik. Namun, tidak ada pelancong atau turis. Hanya datang beberapa teman Panji Tisna berasal dari Amerika dan Eropa, serta pejabat pemerintah daerah dan para pengusaha untuk berlibur.
Di hari-hari khusus, seperti Minggu dan hari libur, juga hari raya seperti Galungan dan Kuningan, banyak orang termasuk pelajar yang datang menikmati suasana alam pantai.
Sejak masa penjajahan Belanda sampai kemerdekaan, Singaraja dikenal sebagai ibu kota. Status ini bertahan dengan mapan sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan perdagangan. Namun awal 1960, Singaraja tidak lagi sebagai ibukota, karena digantikan oleh Denpasar, yang selanjutnya menjadi ibu kota provinsi Bali.
Akibatnya jelas, kegiatan pembangunan, dan perdagangan turun tajam di Singaraja, dan wilayah utara Bali pada umumnya. Memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membangkitkan kembali kondisi normal di Bali Utara.
Sejak Hotel Bali Beach dibangun pada 1963, pariwisata mulai dikenal di Bali. Pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran mulai menyebar ke seluruh Pulau Dewata. Para turis berbondong-bondong datang ke negeri elok ini, setelah Bandara Ngurah Rai dibuka pada 1970.
Pemerintah Buleleng memprogramkan agar sektor pariwisata dipacu sebagai salah satu andalan untuk kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sorotan pun tertuju pada peran Lovina dalam kegiatan pariwisata. Muncul pengakuan dan penolakan kehadiran Lovina.
Di wilayah timur Buleleng, pemandian alam Yeh Sanih di desa Bukti, bangkit sebagai saingan Lovina. Pengembangannya mendapat dukungan yang lebih ketimbang Lovina, baik dari pihak pengusaha maupun pengamat pariwisata.
Pasalnya Yeh Sanih nama asli sebuah kolam alami di desa Bukti di belahan timur wilayah Buleleng. Tetapi para turis kebanyakan minta para agen perjalanan untuk memilih Lovina.
Pengembangan pariwisata di Bali yang pesat di 1980, mendorong pemerintah membentuk kawasan-kawasan wisata, seperti Kawasan Wisata Kuta, dan Sanur.
Di kabupaten Buleleng, dibentuk Kawasan Wisata Kalibukbuk dan Air Sanih . Dalam waktu itu, ada arahan dari Gubernur Bali, agar nama Lovina tidak dikembangkan lagi, karena nama itu tidak dikenal di sana. Lagipula yang seharusnya dikembangkan adalah pariwisata budaya Bali.
Karena itu, para pengusaha selanjutnya memakai nama-nama seperti Manggala, Krisna, Angsoka, Nirwana, Lila Cita, Banyualit, Kalibukbuk, Aditya, Ayodia, dan lainnya.
Sedangkan Anak Agung Panji Tisna sendiri sudah membangun hotel dengan nama Tasik Madu, terletak 100 m di sebelah barat Lovina, yang mejadi tempat tujuan alternatif.
Sedangkan Lovina tidak boleh dihadirkan. Nama Lovina disimpan oleh pemiliknya, Anak Agung Ngurah Sentanu. Setelah Pondok Lovina direnovasi, selanjutnya memakai nama alias yaitu: Pondok Wisata Permata (Permata Cottages).