Selain itu, antusias masyarakat untuk menonton juga sangat tinggi. Bahkan hingga dini hari pun pementasan, masyarakat masih setia untuk menonton.
"Dulu karena minim hiburan, topeng menjadi satu-satunya tontonan yang menarik. Terutama Prembon. Setiap ada odalan, Prembon pasti diminta untuk pentas," kata Made Regug.
Untuk mementaskan prembon, Made Regug bergabung bersama seniman lain dengan konsep bun-bunan. Saat tiba di lokasi pementasan, barulah ditentutkan siapa berperan sebagai apa dan lampahan apa yang akan dibawakan.
"Topeng prembon paling laris jaman dulu karena minim hiburan. Kanti kelemah nak mebalih, beda dengan sekarang ukuran dua jam saja pentas sudah selesai. Kalau dulu pementasan topeng sampai habis-habisan tapel," kata Made Regug.
Baca Juga:Selain Sedapkan Hidangan, Bumbu Bali Bisa Menjadi Pengawet Makanan dan Cegah Keracunan
Belajar membuat topeng otodidak
Waktu muda, Made Regug belajar membuat dan menari topeng secara otodidak dari banyak guru di Batuan dan di Singapadu. Beraneka jenis tapel pun bisa ia buat dengan ekspresi yang begitu kuat. Sebut saja misalnya tapel Dedalem, Rangda, Pasung Grigis, Gajah Mada, Tapel Luh, hingga Bebondresan.
"Apa yang diminta bisa tyang buatkan. Untuk masalah bagus dan tidaknya itu tergantung penilaian orang lain," ungkapnya.
Tapel hasil karya Made Regug memiliki nilai seni tinggi karena menggunakan pewarna alami. Bahkan jika diuangkan, nilainya mencapai jutaan rupiah. Hanya, diakui untuk kalangan pragina (penari Bali) yang memintanya untuk membuatkan satu prancak tapel, dirinya tak bisa mematok harga.
"Kalau sama orang Bali sulit ngasi harga, tyang terima seberapa ia mampu bayar. Asalkan ia benar-benar tulus dan bisa menjaga tapel itu dengan baik," jelasnya.
Baca Juga:4 Fitur Rolls-Royce Cullinan Bespoke yang Selaras untuk Berkendaraan Wisata Bali
Hasil karya Made Regug tak sampai dipasarkan ke luar, namun telah beredar ke seluruh Bali. Kebanyakan orang mendatangi rumahnya untuk memesan tapel.