Sementara di Desa Sempidi, salah satu desa di wilayah kekuasaan Mengwi, sekitar 700 dari 1000 penduduknya dikabarkan meninggal dunia akibat serangan cacar mematikan itu.
Tak berhenti sampai di sana, setahun kemudian penyakit kolera menyerang Badung dan Mengwi. Hal ini digambarkan sumber-sumber Belanda sebagai suatu peristiwa kematian yang mengerikan.
Ujung timur Bali yakni Karangasem dan Klungkung juga mendapat serangan penyakit cacar di 1883. Serangan penyakit mematikan ini juga menyebar ke daerah Mengwi yang membuat kerajaan itu menjadi bulan-bulanan penyakit mematikan.
Dua tahun berikutnya, seluruh wilayah Bali Selatan kembali terjangkit penyakit cacar. Parahnya, penyebaran penyakit cacar ini juga disusul dengan penyebaran penyakit kolera.
Baca Juga:Wisata Bali: Menunggu Pintu untuk Wisman Dibuka Kembali
Tiga tahun kemudian, seiring terjadinya gempa bumi, penyakit kolera kembali menghantam daerah Bali Selatan. Penduduk yang mati mencapai ribuan orang.
Terjadinya serangan cacar dan kolera ini tak pelak menimbulkan kekacauan. Terlebih lagi bencana tanah longsor, gagal panen dan kekeringan juga turut memberikan dampak buruk. Situasi ini membuat peperangan antarkerajaan untuk memperebutkan suatu daerah kekuasaan sempat terhenti sejenak.
Di awal abad ke-20, manakala hegemoni kekuasaan Belanda mulai ditancapkan, "grubug" juga kembali menghampiri Bali.
Epidemi penyakit yang sering mengganggu kesehatan masyarakat saat ini yakni disentri dan malaria yang terjadi pada masyarakat Karangasem.
Ida Bagus Gde Putra dalam tulisannya berjudul "Perubahan Perilaku Penanggulangan Kesehatan Masyarakat di Bali pada Medio Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20" yang dimuat dalam jurnal ilmu sejarah Tantular Nomor 1 tahun 2004 menyebutkan terjangkitnya wilayah Bali dengan wabah penyakit ini disebabkan terjadinya musim kemarau di beberapa daerah.
Baca Juga:Wisata Bali: Misteri Jendela Istana Tampaksiring, Kesukaan Presiden Sukarno Bangun Pagi
Di Gianyar, epidemi malaria dan disentri dari 1933 - 1934, menurut IB Putra, jarang terjadi karena Raja Gianyar telah melakukan vaksinasi terhadap rakyatnya melalui kerja sama dengan pemerintah Belanda.
Tingginya penyebaran penyakit lepra sampai memaksa pemerintah Belanda mendirikan leprasium di daerah Siyut untuk menampung dan merawat sebanyak 144 pasien lepra. Penderita lepra yang dirawat di Desa Siyut bukan hanya dari kalangan masyarakat Gianyar saja, akan tetapi penderita juga berasal dari Klungkung yang berbatasan dengan desa itu. Belanda memberikan subsidi biaya perawatan sebesar f 2,50 per bulan dan kekurangannya ditanggung kas daerah di Klungkung dan Gianyar.
Di Badung juga terdapat 300 penderita lepra yang masih terisolasi. Pendirian tempat perawatan penderita lepra di Badung masih mengalami hambatan. Hal ini terutama akibat persepsi masyarakat yang menganggap orang yang menderita penyakit lepra sebagai orang yang harus disisihkan. Mereka disebut mengidap "sakit gede". Ketika mereka meninggal makamnya pun dibedakan.