Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 08:55 WIB
Suasana YRPU Taman Kanak-kanak di Mataram, Nusa Tenggara Barat. [Suara.com/Buniamin]

SuaraBali.id - Di tengah riuh tawa anak-anak yang memenuhi halamannya, Yayasan Perguruan Rendah Umur (YRPU) di Mataram berdiri sebagai saksi bisu perjalanan waktu. Usianya yang nyaris satu abad tak membuatnya lekang, justru menyimpan kisah tentang keteguhan dan dedikasi pada pendidikan anak-anak. 

Suasana pagi di Yayasan Perguruan Rendah Umur (YRPU) di Mataram, Nusa Tenggara Barat sama seperti taman kanak-kanak (TK) pada umumnya.

Sekolah yang berdiri sejak tahun 1934 ini masih berdiri kokoh dan memiliki banyak siswa.

Taman kanak-kanak yang didirikan oleh seorang perempuan asal Pulau Jawa bernama Moerjati Soebali.

Sekolah ini didirikan karena melihat kondisi anak-anak waktu itu yang tidak memiliki tempat bermain sehingga dibuatkan wadah yang bisa bermain sambil belajar.

Bahasa pertama yang digunakan pada saat sebagai pengantar kegiatan belajar mengajar adalah Bahasa Belanda.

Ini wajar, karena para peserta didik yang sekolah kebanyakan anak-anak Belanda.

“Kebanyakan anak-anak Belanda. Tapi ada juga dari anak-anak sini,” kata Kepala Sekolah YRPU Mukti Mey Leni kepada suara.com.

Ia menceritakan, selama berdiri YRPU tidak pernah pindah tempat yaitu tetap di sekitar jalan Kamboja no. 2 Kota Mataram.

Selain tidak pindah tempat, bangunan sekolah juga tidak pernah berubah dari sejak dibangun hingga saat ini.

Baca Juga: Hantu Royalti Gentayangan di Hotel Mataram: Tagihan LMKN Membuat Pengusaha Bingung

“Pada tahun 1934 itu ada di depan dan pindah ke sini,” katanya.

Sekolah YRPU Taman Kanak-kanak di Mataram, Nusa Tenggara Barat yang masih menyimpan memori zaman penjajahan Belanda. [Suara.com/Buniamin]

Seragam Masih Khas Zaman Belanda 

YRPU tersebut kini sudah berusia 91 tahun.

Hampir satu abad berjalanannya, tidak banyak yang berubah dan bahkan sama dengan TK yang lain.

Hanya saja, perbedaan yang paling menonjol hanya warna baju dan bangunan yang khas Belanda yaitu oranye.

“Bangunan dan baju seragam oranye. Ini pengaruh Belanda. Kalau pelajaran sama saja,” kata Mey.

Pada mulanya para guru mengajar murid dalam satu kelas yang berjumlah 20 orang di dalam kelas pemula (voorbereidence class).

Alat yang digunakan dalam mengajar saat itu sangat sederhana.

Diceritakan, pada saat itu banyak peminat yang ingin meyekolahkan anak-anak mereka di sekolah tersebut.

Sejak berdirinya, akhirnya jumlah muridnya semakin banyak.

“Hasil dari pembelajaran di sekolah kami membuat anak-anak di daerah ini memiliki kecerdasan otak dan budi pekerti yang baik,” terangnya dalam tulisan resmi riwayat singkat Taman Kanak-Kanak YPRU.

Mey menuturkan, uang sekolah yang dipungut pada saat itu tidak seberapa jumlahnya dan pendapatanya tidak mencukupi untuk membiayai pemeliharaan sekolah.

Akan tetapi, sekolah tetap berjalan terus.

“Anak-anak hasil didikan kami yang telah tamat dari Frobel School dengan gembira mereka melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi seperti ke HIS dan ELS di masa sebelum Perang Dunia II,” tuturnya.

Selanjutnya, pada masa zaman Jepang, zaman revolusi, sekolah berjalan terus.

Namun pada masa ini terjadi perubahan besar terutama pada bahasa pengantar yang digunakan dalam mengajar yang berubah dari bahasa Belanda menjadi Bahasa Indonesia.

“Pada masa Revolusi ini, sekolah kami pindah ke gedung "Mardi Bekso”.

Tempat itu diberikan secara cuma cuma oleh Pemerintah Daerah Lombok.

Tempatnya lebih besar untuk menampung murid yang semakin banyak,” katanya.

Pada tahun 1946, tentara NICA dan sekutu masuk ke Lombok. Semua gedung sekolah dan pemerintahan diambil secara paksa oleh NICA.

“Akhirnya sekolah kami ditutup untuk waktu yang tidak kami ketahui,” katanya.

Kondisi yang belum menentu, anak-anak berhenti sekolah.

Pasalnya semua alat dan fasilitas yang digunakan mengajar rusak dan banyak yang juga hilang.

“Taman Kanak-Kanak ini selama tiga tahun seperti hidup segan mati pun tak mau. Tidak ada daya dan bantuan yang kami miliki saat itu membuat sekolah kami belum mampu berdiri kembali,” tuturnya.

Akan tetapi, lama kelamaan keadaan ini dirasakan oleh kaum ibu khususnya orangtua yang memiliki anak.

Mereka menginginkan sekolah kami dimulai lagi. Karena anak-anak warga pada waktu itu bermain dengan orang yang tidak dikenal.

Mengetahui keresahan kaum ibu-ibu di Mataram. Pada 15 Maret tahun 1949 taman kanak-kanak tersebut kembali didirikan.

“Waktu itu maka Bapak Tiboeloedji, selaku direktur SMP didukung oleh Alm. Mamiq Mustiarep selaku Kepala Daerah Lombok waktu itu dan kesanggupan dari Nyonya Moerjati Soebali untuk memimpin sekolah itu,” katanya.

Dengan banyaknya permintaan, maka pada tahun itu sekolah kembali dibuka dua kelas terdiri dari kelas Taman Kanak-Kanak (Probel Class) dan kelas pemula (Voorbereidence Class).

Dua guru antara lain Nona Soedewi merupakan lulusan SMP waktu itu yang dididik sebagai guru Taman Kanak-Kanak dengan memegang 70 murid.

Hingga saat ini, alumni dari TK tertua ini hampir 5.000 orang lebih.

Dari ribuan alumni banyak yang sudah sukses dan bahkan membantu membiayai sekolah jika ada perbaikan.

“Ada pejabat-pejabat alumni TK disini dan ikut bantu perbaikan sekolah,” katanya.

Kontributor Buniamin

Load More