Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Senin, 15 Maret 2021 | 20:35 WIB
Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memantau situasi di dekat Gereja Katolik Roh Kudus Katedral saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1943 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (14/3/2021). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo]
Perbandingan situasi jalan raya sebelum dan sesaat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1943 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (14/3/2021). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo]

Dahulu, ketentuan perayaan Nyepi belum seragam

Pada zaman dulu, perayaan Nyepi di Bali tidak seragam. Kecuali ketentuan amati geni yang biasanya ditandai malam tanpa lampu, konsep amati lelungan (tidak bepergian) ditafsirkan secara berbeda dari satu desa ke desa lain.

Di beberapa desa, warga memang tinggal di rumah saat Nyepi, tetapi di desa lainnya warga ke luar rumah, beramai-ramai ada di jalan, tanpa mengendarai mobil, motor, atau sepeda.

Di saat itu, Nyepi justru dijadikan ajang berkumpul di ruang publik, yang penting tidak mengendarai kendaraan.

Baca Juga: Tradisi Ngembak Geni dan Maknanya Bagi Umat Hindu

Anak-anak main kasti atau loncat karet di jalan raya.

Bila ada pecalang datang, barulah mereka masuk rumah, dan ke luar lagi bila pecalang sudah pergi.

Kriminalitas di saat Nyepi

Nyepi juga dimanfaatkan pencuri untuk beraksi. Pada Nyepi 9 Maret 1970, Toko Djaja Agung di Jalan Gajah Mada Denpasar mengalami peristiwa pencurian.

Toko yang menjual arloji ini kehilangan 89 jam tangan, dengan kerugian di zaman itu ditaksir Rp200 - Rp300 ribu.

Baca Juga: Pelaksanaan Nyepi Masyarakat Bali Sudah Ada Sejak Abad ke-8 Masehi

Untungnya bagi pemilik toko, dan malangnya si maling, kurang dari 24 jam ia sudah ditangkap seorang jaksa di Tabanan karena gerak-geriknya mencurigakan.

Pencuri itu menawarkan jam berkualitas baik dengan harga murah. Setelah digeledah, ternyata dia membawa seluruh arloji hasil curian di Toko Djaja Agung.

Load More