Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Senin, 15 Maret 2021 | 20:35 WIB
Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memantau situasi di dekat Gereja Katolik Roh Kudus Katedral saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1943 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (14/3/2021). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo]

SuaraBali.id - Banyak hal reflektif bisa dipetik dari perayaan Hari Suci Nyepi. Tidak saja bagi yang beragama Hindu, namun secara umum. Bahkan tidak saja hanya saudara sebangsa. Lain kebangsaan pun bisa. Dengan prinsip toleransi dan keseimbangan.

Dikutip dari BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, sebagai daerah pariwisata, Bali menghadapi banyak cobaan di saat penyelenggaraan Nyepi di tahun-tahun silam. Sehingga alih-alih kegiatan bisa dihentikan, ada saja pernak-pernik yang bisa menjadi bahan perenungan.

Contohnya pada Nyepi 20 Maret 1969. Bupati Badung dan Gubernur Bali menolak permohonan Garuda terbang di hari itu. Namun masih dibolehkan transit. Penerbangan yang dianggap sebagai aktivitas dengan koneksi internasional lama sekali tidak bisa dihentikan di Bali saat Nyepi.

Akibatnya, pegawai biro perjalanan dan hotel harus mendapat dispensasi untuk menjemput dan mengantar tamunya ke bandara.

Baca Juga: Tradisi Ngembak Geni dan Maknanya Bagi Umat Hindu

Pada 1970-an hingga sekita 1990-an, banyak karyawan yang bekerja di sektor pariwisata meminta dispensasi untuk bekerja saat Nyepi. Karena masyarakat yang merayakan Nyepi merasa terganggu, jumlah dispensasi makin ditekan.

Baru sesudah reformasi, mulai 1999 atau 2000, pemerintah daerah dan lembaga masyarakat lainnya bisa mendesak pemerintah agar menutup Bandar Udara Ngurah Rai saat Nyepi.

Kini pelabuhan dan bandara ditutup sepenuhnya untuk semua penerbangan pada Hari Raya Nyepi.

Kinerja pecalang pun semakin optimal dalam menertibkan Nyepi, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dalam memaknai dan menjalankan proses ibadat ini secara khusyuk dan hening.

Dunia luar pun angkat topi dalam menghormati tradisi dan toleransi serta pentingnya momentum ini bagi warga Pulau Dewata. Satu hari dan satu malam atau 24 untuk meniadakan segala keriuhan duniawi adalah keindahan, mengingat keramaian dan aktivitas berjalan tiada henti dalam setahun. Sebuah refleksi, hubungan vertikal antara Pencipta dan umatnya serta horizontal, yaitu toleransi dan peduli sesama.

Baca Juga: Pelaksanaan Nyepi Masyarakat Bali Sudah Ada Sejak Abad ke-8 Masehi

Berikut ini adalah sketsa Nyepi di Bali zaman old, yang bisa menjadi wacana, bila dibandingkan dengan kondisi kekinian, alangkah indahnya perayaan di saat sekarang.

Tatanan sawah dengan irigasi sistem subak di Ubud, Bali. [Shutterstock]

Saat tamu berkebangsaan lain belum memahami adanya tradisi Nyepi

Siapa yang tidak kenal Walter Spies? Salah satu seniman legendaris dunia dan bermukim di Ubud, sebelum Perang Kemerdekaan RI. Ia banyak dikunjungi para tamu berkebangsaan Eropa.

Kisah ini terjadi di Hari Raya Nyepi 1936.  Saat itu suasana Bali sunyi sepi. Masyarakat tinggal di dalam rumah. Di jalanan yang beraspal, hanya terlihat petugas patroli, atau kini dikenal sebagai pecalang

Kesunyian pecah karena ada satu unit mobil berisi penumpang berkebangsaan asing lewat. Pecalang menghentikan mobil itu, dan pengemudi tidak gentar. Dengan percaya diri menyebutkan bekerja untuk Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau KPM. Sebuah perusahan pelayaran Belanda yang mengoperasikan kapal dagang dan kapal wisata di jalur Jawa-Bali-Sulawesi. Perusahaan ini juga pemilik dan pengelola Bali Hotel (Jalan Veteran Denpasar) yang dibangun 1928.

Setelah mendengar bahwa kendaraan itu milik KPM, pecalang mundur ketakutan, mempersilakan kendaraan tadi lewat.

Pecalang tidak bisa berkutik karena pada zaman kolonial, suka atau tidak, Bali adalah milik Belanda, termasuk KPM. Kekuasaan ada di tangan mereka, tradisi dan budaya dikalahkan.

Kisah Nyepi di Bali 1936 itu dikisahkan antropolog Dr. Margaret Mead. Dialah sang penumpang mobil KPM waktu itu. Bersama sang suami, Gregory Bateson, juga seorang antropolog, mereka berdua tiba di  Pulau Dewata saat Nyepi.

Keduanya bertolak ke Ubud, untuk bertemu Walter Spies, pelukis dan direktur Museum Bali waktu itu.

Di Ubud, mereka bertemu banyak sarjana Barat yang melakukan riset di Bali, antara lain Beryl de Zoete, partner Walter Spies dalam menulis buku Dance and Drama in Bali (1937).

Mead dan Bateson sendiri melakukan penelitiannya di Bayung Gede, Bangli, dan pada 1942 menerbitkan buku Balinese Character: A Photographic Analysis (Karakter orang Bali, Sebuah Analisis Fotografi).

(bersambung halaman berikut)

Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memantau situasi saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1941 di kawasan Terminal Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (7/3). [ANTARA FOTO/Fikri Yusuf]

Nyepi dalam semangat revolusi

Suasana perayaan Nyepi di Bali turut diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.

Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar, ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi kata-kata "revolusi". Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di surat kabar saat itu.

Antara lain ucapan dari Gubernur Bali pada 1966. Iklan itu berisi harapan, yang berbunyi, "Agar Ida Sang Hyang Perama Kawi melimpahkan harapanNya kepada seluruh warga, dalam menunaikan tugas memenangkan revolusi yang mahabesar untuk mencapai keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur."

Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB (Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan "prihatin". Kemudian dituliskan, "Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi guna memenuhi Ampera".

Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Dan di saat itu, ucapan Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik.

(bersambung halaman berikutnya)

Perbandingan situasi jalan raya sebelum dan sesaat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1943 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (14/3/2021). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo]

Dahulu, ketentuan perayaan Nyepi belum seragam

Pada zaman dulu, perayaan Nyepi di Bali tidak seragam. Kecuali ketentuan amati geni yang biasanya ditandai malam tanpa lampu, konsep amati lelungan (tidak bepergian) ditafsirkan secara berbeda dari satu desa ke desa lain.

Di beberapa desa, warga memang tinggal di rumah saat Nyepi, tetapi di desa lainnya warga ke luar rumah, beramai-ramai ada di jalan, tanpa mengendarai mobil, motor, atau sepeda.

Di saat itu, Nyepi justru dijadikan ajang berkumpul di ruang publik, yang penting tidak mengendarai kendaraan.

Anak-anak main kasti atau loncat karet di jalan raya.

Bila ada pecalang datang, barulah mereka masuk rumah, dan ke luar lagi bila pecalang sudah pergi.

Kriminalitas di saat Nyepi

Nyepi juga dimanfaatkan pencuri untuk beraksi. Pada Nyepi 9 Maret 1970, Toko Djaja Agung di Jalan Gajah Mada Denpasar mengalami peristiwa pencurian.

Toko yang menjual arloji ini kehilangan 89 jam tangan, dengan kerugian di zaman itu ditaksir Rp200 - Rp300 ribu.

Untungnya bagi pemilik toko, dan malangnya si maling, kurang dari 24 jam ia sudah ditangkap seorang jaksa di Tabanan karena gerak-geriknya mencurigakan.

Pencuri itu menawarkan jam berkualitas baik dengan harga murah. Setelah digeledah, ternyata dia membawa seluruh arloji hasil curian di Toko Djaja Agung.

Load More