Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Senin, 15 Maret 2021 | 20:35 WIB
Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memantau situasi di dekat Gereja Katolik Roh Kudus Katedral saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1943 di wilayah Desa Sumerta Kelod, Denpasar, Bali, Minggu (14/3/2021). [ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo]
Pecalang atau petugas pengamanan adat Bali memantau situasi saat Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1941 di kawasan Terminal Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (7/3). [ANTARA FOTO/Fikri Yusuf]

Nyepi dalam semangat revolusi

Suasana perayaan Nyepi di Bali turut diwarnai suasana sosial politik zamannya. Kalau pada zaman kolonial, kuasa atas budaya dan tradisi ada di tangan pemerintah penjajah, setelah kemerdekaan perayaan Nyepi diwarnai semangat kebangsaan dan revolusi.

Tahun 1960-an, ketika semangat revolusi sedang berobar-kobar, ucapan-ucapan untuk perayaan Nyepi juga berisi kata-kata "revolusi". Hal ini bisa dilihat dari iklan-iklan ucapan selamat Nyepi yang dipasang di surat kabar saat itu.

Antara lain ucapan dari Gubernur Bali pada 1966. Iklan itu berisi harapan, yang berbunyi, "Agar Ida Sang Hyang Perama Kawi melimpahkan harapanNya kepada seluruh warga, dalam menunaikan tugas memenangkan revolusi yang mahabesar untuk mencapai keagungan dan kejayaan Nusa dan Bangsa Indonesia yang adil dan makmur."

Baca Juga: Tradisi Ngembak Geni dan Maknanya Bagi Umat Hindu

Pesan serupa juga terlihat dalam iklan Nyepi yang dipasang PT GIEB (Gabungan Impor dan Ekspor Bali). Iklan untuk Nyepi 1966 itu berisi ajakan kepada masyarakat menyambut Nyepi dengan "prihatin". Kemudian dituliskan, "Mari kita tingkatkan kewaspadaan untuk menyelesaikan revolusi guna memenuhi Ampera".

Ampera artinya amanat penderitaan rakyat. Dan di saat itu, ucapan Nyepi dijadikan arena untuk menyisipkan pesan politik.

(bersambung halaman berikutnya)

Load More