SuaraBali.id - Balai Pelayanan Perlindungan dan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT mengungkapkan sebuah fakta bahwa hingga Agustus 2025, sebanyak 93 pekerja migran asal NTT telah kehilangan nyawa di luar negeri.
Yang lebih miris, mayoritas dari mereka adalah korban dari jalur nonprocedural.
"Sejak awal tahun hingga hari ini, total ada 93 jenazah PMI NTT dipulangkan dari Malaysia. Dari jumlah ini, yang kategori resmi hanya lima orang, sedangkan sisanya berangkat secara ilegal (atau nonprosedural)," ungkap Penyuluh Hukum Ahli Muda BP3MI NTT Yonas Bahan di Kupang, saat mendampingi pemulangan jenazah.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan kisah 88 nyawa yang harusnya bisa diselamatkan, 88 keluarga yang hancur karena minimnya perlindungan hukum.
Baca Juga:BRI Taipei Bantu Pekerja Migran Kirim Uang ke Indonesia Lebih Mudah
Pemerintah, melalui BP3MI, tidak pernah melarang warganya untuk mencari rezeki di negeri orang.
Namun, ada satu syarat mutlak yang seringkali diabaikan, membawa konsekuensi fatal: keharusan berangkat melalui jalur resmi.
"Jika ingin bekerja ke luar negeri, carilah informasi resmi di Dinas Nakertrans kabupaten/kota atau di BP3MI, sehingga bisa mendapatkan pendampingan dan berproses secara resmi," imbau Yonas.
Imbauan ini bukan tanpa alasan, melainkan demi keselamatan dan masa depan para pekerja migran itu sendiri.
Legalitas administrasi adalah benteng perlindungan terakhir bagi pekerja migran.
Baca Juga:Nonton Pakai Jersey Malaysia, Aisar Khaled Ditolak Suporter Timnas Indonesia di GBK
Tanpa dokumen yang sah, mereka rentan terhadap eksploitasi, perlakuan tidak adil, bahkan hingga kehilangan nyawa tanpa jejak yang jelas.
"Ketika berangkat secara ilegal banyak kasus yang berisiko bisa terjadi karena ketiadaan jaminan hukum," tegasnya.
Risiko ini bukan hanya ancaman kosong, melainkan kenyataan pahit yang terus terjadi.
Yonas Bahan menambahkan bahwa saat ini sudah banyak perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang resmi beroperasi di wilayah NTT.
Hal ini seharusnya memudahkan calon pekerja migran untuk mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur, menghindarkan mereka dari godaan jalur pintas yang penuh bahaya.
Tragedi yang menimpa almarhum Tefilus Fahik, pekerja migran asal Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, menjadi pengingat pedih.