SuaraBali.id - Mantan rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara menjalani sidang putusan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) bagi mahasiswa baru jalur mandiri tahun 2018-2022.
Antara tiba di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, Kamis, sekitar pukul 09.20 Wita.
Dengan tangan diborgol dan menggunakan rompi oranye, Antara turun dari mobil tahanan dan langsung menuju ke ruangan tahanan sementara di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Antara pun enggan memberikan komentar terkait persidangan hari ini. Dia hanya melambaikan tangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Baca Juga:Ketua BEM Universitas Udayana Sebut Presiden Jokowi Lakukan Pelanggaran
Sementara itu, puluhan orang sanak keluarga dan kerabat Antara tampak sejak Kamis pagi sudah berada Pengadilan Tipikor Denpasar untuk memberikan dukungan bagi Antara.
Sidang putusan pengadilan terhadap Antara dijaga ketat oleh aparat Polresta Denpasar. Personel yang bertugas tampak berjaga di luar Gedung Tipikor Denpasar hingga memeriksa para pengunjung yang mengikuti sidang tersebut.
Sebelumnya, dalam sidang tuntutan, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa Antara hukuman penjara selama enam tahun.
Jaksa menyatakan terdakwa Nyoman Antara secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tentang Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo. Pasal 65 KUHP sebagaimana dakwaan kedua.
Antara juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Baca Juga:Hakim Cecar Mantan Rektor Universitas Udayana Soal Pungli Rp4 Miliar
JPU menilai dakwaan kedua lebih tepat untuk dibuktikan atas perbuatan terdakwa, di mana dalam sidang telah terungkap dengan terang bahwa pungutan SPI terhadap calon mahasiswa baru di Universitas Udayana merupakan salah satu tarif layanan akademik yang seharusnya ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan.
Namun demikian, dalam kenyataannya, SPI atau uang pangkal yang ditarik seperti ditetapkan sebagai tarif layanan BLU Unud sebagaimana PKM 51/PMK.05/2015 dan PMK 95/PMK.05/2022, serta hanya didasarkan atas keputusan rektor.
Bahkan, beberapa program studi yang semestinya dalam keputusan rektor tidak dipungut SPI malah dalam pelaksanaannya tetap dipungut biaya, sehingga pungutan tersebut menjadi tidak sah.
Dalam hal itu, Antara memiliki tanggung jawab selaku ketua panitia pelaksana seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri tahun akademik 2018/2019, 2019/2020 dan 2020/2021 dan kapasitasnya sebagai rektor Unud tahun 2022/2023.
Jumlah pungutan SPI secara keseluruhan sebesar Rp274.570.092.691, termasuk dari 347 calon mahasiswa baru yang memilih program studi yang tidak masuk dalam keputusan rektor Universitas Udayana dengan nilai total pungutan Rp4.002.452.100.
JPU menjelaskan uang hasil pungutan SPI tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana, namun dalam hal ini pungutan SPI disimpan bukan dalam bentuk deposito sebagai investasi jangka pendek.
Dana SPI tersebut disimpan di rekening giro RPL 037 BLU Unud dicampur dengan pendapatan Unud lainnya dengan jangka waktu antara tiga sampai empat tahun pada Bank mitra, di antaranya Bank BTN Rp50 miliar, Bank BPD Bali Rp70 miliar, Bank Mandiri Rp30 miliar, dan Bank BNI lebih dari Rp100 miliar.
Uang tersebut dijadikan agunan oleh terdakwa Antara dan pejabat Unud lainnya, sementara jaminan atau agunan digunakan untuk memperoleh fasilitas kendaraan.
Akibatnya, sebagian besar mahasiswa tidak mendapatkan manfaat dari pungutan SPI tersebut, karena sarana dan prasarana di Unud yang menjadi salah satu syarat standar pelayanan minimum dalam kegiatan belajar mengajar masih sangat minim, tidak memadai, dan banyak yang rusak. (Antara)