SuaraBali.id - Bayi yang terlahir kembar sepertinya menjadi keinginan banyak orang tua di dunia, baik kembar laki-laki maupun perempuan.
Pasalnya, dalam sekali melahirkan mereka akan langsung mendapatkan dua buah hati sekaligus. Bahkan ada yang tidak memiliki keturunan kembar, mereka sampai rela menghabiskan banyak biaya hanya untuk program bayi kembar.
Rasanya, memiliki bayi kembar memang menjadi suatu anugrah tersendiri. Namun berbeda cerita dengan di Pulau Bali.
Di Bali yang masih melestarikan tradisi dan adat istiadat punya konsep dan keyakinan sendiri soal bayi kembar.
Baca Juga:Melasti Manak Salah di Bali, Awalnya Untuk Bayi Kembar Buncing yang Dianggap Kotor
Sebut saja tradisi Melasti Manak Salah, dimana tradisi ini digelar untuk orang-orang (masyarakat biasa) yang memiliki atau melahirkan anak kembar buncing (kembar laki-laki dan perempuan).
Kepercayaan akan kembar buncing di Bali ini masih terus dilestarikan. Meski tidak semua daerah, namun di desa-desa terpencil masih ada yang menjalankan tradisi tersebut, seperti Nusa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung dan beberarap wilayah lainnya.
Hal ini lantaran mereka percaya jika kelahiran bayi kembar buncing dari kalangan masyarakat biasa ini dianggap bencana atau ngeletehin (menodai) desa tempatnya lahir. Maka dari itu perlu diupacari.
Sementara itu jika bayi kembar buncing ini lahir dari keluarga Raja justru dianggap sebagai berkah atau keberuntungan.
Bahkan menurut mitos, air bekas memandikan bayi kembar buncing dari ‘kasta-atas’ itu diyakini dapat menyuburkan sawah hingga ladang.
Baca Juga:Kelahiran Kembar Buncing di Bali, Bisa Jadi Anugerah Hingga Musibah
Bayi kembar buncing yang dianggap ‘bencana’ itu secara paksa akan diasingkan di pinggiran desa dekat dengan pemakaman selama kurang lebih 1 bulan.
Sementara orang tuanya atau keluarga bayi kembar buncing itu wajib melakukan upacara bersih desa. Hal ini dilakukan untuk menolak bala atau kemungkinan buruk yang akan terjadi di desa tersebut.
Cara atau tradisi seperti itu di era modern ini memang bisa dikatakan tidak manusiawi. Pasalnya, secara logika bayi kembar buncing yang lahir itu tidak bersalah apa-apa dan tidak meminta untuk dilahirkan juga .
Sanksi adat bagi keluarga yang memiliki atau melahirkan bayi kembar buncing itu telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomoe 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951. Namun sampai saat ini ada saja beberapa desa di pedalaman Bali yang masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
Kontributor: Kanita Auliyana Lestari