SuaraBali.id - Suasana Jalan Gajah Mada, Kota Denpasar kini tak ayalnya seperti melihat kota tua dengan arsitektur bangunan kuno. Bangunan-bangunan tinggi menjadi tempat aneka bisnis, dari berjualan alat elektronik, kain, obat-obatan, hingga menjadi kedai kopi.
Suasana itu dilengkapi pula dengan hiruk pikuk Pasar Badung, dan juga gemerlap Tukad (Sungai) Badung yang sudah ditata.
Namun, jika waktu ditarik puluhan tahun ke belakang, areal Gajah Mada didominasi oleh etnis Tionghoa yang juga mengelola bisnisnya. Kerap disebut Kampung Pecinan, areal Gajah Mada ibarat ‘toko serba ada’ yang menjual semua jenis kebutuhan harian.
Begitulah yang dijelaskan Tio Sung Thao (57), seorang warga di Jalan Kartini yang lahir dan besar menyaksikan perubahan Kampung Pecinan Gajah Mada.
Baca Juga:Perusakan ATM Marak di Karangasem, Komponen Mesin Diincar
“Dulu itu semua murni, di sekitar Jalan Gajah Mada dari ujung barat sampai timur itu hampir 100 persen Etnis Tionghoa. Yang dulu di sini (dijual) itu macam-macam, ada jual untuk rumah tangga, obat, kain, campur-campur dulu. Jadi apapun dicari, di Jalan Gajah Mada itu ada,” ujar Tio saat ditemui di kediamannya, Jumat (20/1/2023).
Wanita kelahiran 1965 itu bersama keluarganya juga memiliki Toko Cipta Karya yang saat ini dijalankan oleh ayahnya. Toko yang mulanya bernama Toko Sing Bie itu didirikan sejak tahun 1920-an oleh Kakek Tio.
Toko Cipta Karya inilah yang kemudian menjadi saksi sejarah Kampung Pecinan Gajah Mada.
Saat bermigrasi dari Tiongkok ke Indonesia, Kakek Tio tidak langsung bermukim di Bali. Dia awalnya menetap di Lombok, kemudian pindah ke Kuta, dan akhirnya tinggal dan kerasan di Gajah Mada.
Menurut Tio, sering bermigrasi adalah hal lazim bagi warga Tionghoa. Alasannya sederhana, karena warga Tionghoa melihat peluang untuk membuka bisnis dan mengajak teman atau saudaranya untuk berpindah.
Baca Juga:Ibu Muda Melahirkan Spontan di Rumah Kos Denpasar Tanpa Tenaga Medis, Bayi Selamat
“Itu tahun 1920-an, awalnya kakek saya ke Lombok. Setelah itu ke Kuta, baru ke Denpasar. Jadi mungkin ada yang sukses di sini, ngajak temannya. Atau kalau saudara juga diajak,” tuturnya.
Saat itulah Kampung Pecinan Gajah Mada bertumbuh dan semakin dipadati. Begitu juga dengan alur bisnis yang berputar terus.
Ikuti Kehendak Leluhur
Saat masa mudanya, Tio menyebut warga Kampung Pecinan sangat menjaga kerukunan satu sama lain. Begitu juga dengan kerukunan yang terbentuk dengan masyarakat lokal saat itu.
Tio menceritakan warga Kampung Pecinan juga kerap membantu dalam bentuk sumbangan atau tenaga. Bahkan, tak jarang warga Kampung Pecinan yang turut membantu ngelawar (membuat lawar) dan mebat (memasak) saat jelang hari raya Hindu.
“Dulu kalau ngelawar zaman mau Galungan itu, kita juga ke banjar. Nanti kalau ada hari raya nyepi mau bikin ogoh-ogoh, ya mungkin kita tidak bisa ikut dalam membuatnya, tapi kita bantu dananya,” tuturnya.
Namun, sayangnya hal itu tak selamanya berjalan baik bagi warga Kampung Pecinan. Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, warga Tionghoa sangat dibatasi.
Dari dibatasinya ibadah dan pertunjukan budaya seperti barong sai, hingga nama toko yang harus diganti menjadi nama Indonesia.
Menurunnya perekonomian saat itu juga membuat banyak pemilik toko yang terpaksa menjual tokonya. Alhasil, banyak toko dibeli oleh orang Arab dan India yang hingga kini menjadi toko kain.
Toko Cipta Karya milik keluarganya bahkan sudah beberapa kali berganti barang dagangan, mulai dari kopra, hasil bumi, hingga ban.
“Memang akhirnya ada yang dilepas, dijual tokonya. Biasanya dijual ke orang India atau Arab. Dengan berjalannya waktu, mungkin kita tidak mengembangkan usaha sesuai zamannya, akhirnya lama-lama mulai berkurang ekonominya,” ujarnya.
Baru saat kepemimpinan Presiden Gus Dur, warga Tionghoa dapat bernapas lega karena keberadaan mereka dan budayanya tidak dibatasi.
Namun, saat itu penduduk asli Kampung Pecinan sudah banyak yang berpindah ke tempat lain. Toko-toko di Jalan Gajah Mada pun tidak banyak yang dikelola oleh warga Tionghoa.
Toko Cipta Karya yang kini sudah menjual obat-obatan juga menjadi salah satu dari sedikit toko yang sudah berdiri sejak era ‘pelopor’ Kampung Pecinan.
Kedepannya, dia berharap agar perekonomian di kawasan Gajah Mada bisa bangkit seperti masa jayanya. Selain perekonomian, dia juga menginginkan agar kawasan tersebut bisa menjadi objek wisata yang lebih baik seperti sedia kala, dengan mempertahankan budaya yang ada.
Tio menyebut warga Kampung Pecinan hanya tersisa sekitar 30-40 persen saja saat ini. Tapi bagi Tio percaya keluarganya tidak meninggalkan Pecinan Gajah Mada, baginya tinggal di sana sudah seperti kehendak leluhur.
“Tidak, saya sama sekali tidak ada (niat untuk pindah). Tinggal di sini mungkin sudah kehendak leluhur saya,” pungkasnya.
Kontributor : Putu Yonata Udawananda