SuaraBali.id - Asal muasal "wong samar" atau sosok tak kasat mata di Bali banyak dituliskan di naskah-naskah lontar di Bali yang sebagian besar ditulis pada abad ke-16.
Naskah-naskah tersebut telah mengalami beberapa kali penyalinan hingga dikodifikasi oleh Van Der Tuuk (peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di Nusantara) pada awal abad ke 20.
Terungkap dalam naskah tersebut bahwa Dang Hyang Nirartha, pendeta Brahmana dari masa Majapahit, menyeberang dari Pasuruan Jawa Timur ke Bali pada tahun 1489 bersama istri dan tujuh anaknya.
Akan tetapi sesampainya di Bali, rombongan pendeta ini mengalami musibah saat memasuki kawasan Bali utara.
Baca Juga:Bule AS Tewas Setelah Jatuh Terpleset di Jurang Gunung Agung
Putri sulungnya, Dyah Swabhawa, dianiaya sekelompok pemuda di sebuah desa tua bernama Pegametan.
Karena marah, pendeta ini kemudian mengutuk warga desa itu agar menjadi manusia yang tidak terlihat (Wong Samar) dan membakar habis desa itu dengan kekuatan saktinya.
Akibatnya selama 300 tahun, bekas Desa Pegametan menjadi daerah yang ditakuti, ditinggalkan, hingga ditumbuhi padang belukar dan belantara.
Setelah itu datanglah saudagar kaya dari Tiongkok kemudian membuka lahan di tempat itu pada abad ke-18 atas izin Raja Bali Utara.
Warga Tionghoa lainnya pun mengikuti dengan berlabuh di pelabuhan abad pertengahan di dekat sana. Kini orang mengenal bekas pelabuhan lawas itu sebagai Teluk Terima.
Baca Juga:Bule Inggris Ditipu Telak Oleh 2 Money Changer di Canggu, Baru Sadar Setelah di Hotel
Menurut buku "Alien Menurut Hindu" Halaman 357, putri sulung Dang Hyang Nirartha, yakni Dyah Swabhawa, oleh ayahnya kemudian diangkat menjadi pemimpin para "Wong Samar" di Bali.
Sedangkan menurut berbagai cerita rakyat bertempat tinggal di kawasan Melanting, sekitar satu kilometer dari Pulaki, menelusuri jalan kecil ke arah bukit.
Jadi berdasarkan sumber naskah-naskah lontar abad ke-16, ibu kota lokal bagi "manusia Bali tak kasat mata" ini ada di Melanting.
Keberadaan "wong samar" semacam ini menjadi satu bukti bahwa manusia tidak seorang diri di planet ini. Dan planet bumi tidak sekecil yang kita kira.
Kisah manusia berubah menjadi manusia tidak terlihat mengindikasikan bahwa ras-ras tersebut adalah manusia dari jenis lain yang tinggal di dimensi "Bhu-Mandala" atau Bumi besar atau "Jambu Dwipa" (bumi tengah).
Para "wong samar" ini juga memiliki siklus kehidupan layaknya manusia. Bahkan di beberapa desa terpencil di Bali, mayat wong samar kadang ditemukan tergeletak di semak belukar dan akan lenyap setelah beberapa hari.
Beberapa desa melakukan upacara kremasi bagi mayat itu atau dikuburkan di pemakaman.
Di beberapa Desa di Bali masih ada sebagian orang yang menyimpan benda-benda yang diklaim sebagai pemberian wong samar. Ada yang menyimpan uang kepeng, tongkat, atau bahkan segulung rambut yang diyakini sebagai rambut wong samar.