“Keadaan sangat gelap, karena aliran listrik padam, namun saya masih dapat melihat dengan jelas karena membawa lampu di camera video, Saat Itu terlihat banyak wartawan foto dan camerawan tv berada di lokasi kejadian tetapi mereka tidak membawa lampu, Dengan kondisi seperti Itu, saya dengan mudah mengambil gambar kemana saja, masuk ke reruntuhan Sari Club yang dipenuhi mayat, mengikuti proses evakunsi korban, mengamati ground zero yang seperti kubangan air dan melihat puluhan mobil ynng hangus terbakar bersama penumpangnya,” ungkapnya kepada SuaraBali.id
Dalam video dokumenternya menggambarkan awal mula kejadian, masa persidangan terdakwa bagaimana para pelaku berdialog dengan hakim, hingga pemakaman setelah eksekusi hukuman mati ia sajikan sesuai fakta tanpa ada naskah menjadi literasi referensi dan rujukan untuk kasus bom bali 2002 dan terorisme internasional.
Satu bulan pasca kejadian tepatnya 15 November 2002 sebelum Jalan Legian kembali dibuka dilakukan ritual pembersihan secara Hindu.
"Interestnya di sini saya menyajikan fakta tanpa tulisan, real fakta, video asli hasil riil bukan direkonstruksi, saya namakan The white balance, yang saya rasakan ngeri karena banyak sekali mayat yang tewas yang kondisi mengenaskan, ada mayat yang masih di mobil terbakar terpanggang ngeri tidak menyangka dahsyatnya ledakan sepanjang Legian mobil gosong semua,” ungkap dia
Baca Juga:AJI Denpasar Dan IJTI Bali Gelar Pemutaran Film The White Balance 20 Tahun Bom Bali
“Video ini menjadi jejak digital peristiwa tahun 2002 lalu, seperti apa kejadiannya, kondisi setelahnya, Bali sepi, kejadian pertama dan berdampak pada dunia internasional,” imbuhnya.
![Jurnalis Sigit Purwono ketika ditemui di rumahnya di daerah Panjer, Denpasar Selatan, Bali, Senin, 25 Juli 2022 [Suara.com / Yosef Rian]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/09/17/28823-the-white-balance.jpg)
Sempat Ingin Segera Pergi dari Bali
Seusai proses peliputan dari Kuta dan pulang ke rumah Minggu pagi (13 Oktober 2002 ) sekitar pukul 05.00 wita, Sigit langsung menemui istri dan mengajaknya untuk pulang ke Jawa. Ia sempat terbesit dipikiran untuk segera meninggalkan Bali.
“Saya katakan bahwa kita harus keluar dari Bali hari itu juga. Saya menyuruh istri untuk segera mencari tiket pesawat atau bus, agar sekeluarga dapat keluar dari Bali. Saya tidak ingin melihat pengalaman buruk di daerah-daerah konflik akan menimpa kami. Tetapi istri saya tetap bertahan, tidak mau meninggalkan Bali hari itu juga. Sejak itulah beberapa hari kemudian saya merasa tidak nyenyak tidur karena selalu dihinggapi perasaan takut, khawatir dan trauma,” tutur dia
Namun kekhawatirannya tidak terbukti, lambat laun masyarakat Bali baik dari berbagai suku, agama, dan kebangsaan bahu membahu bangkit bersama untuk membangun Bali kembali.
Dokumenter ini menjadi bukti kecintaan kami terhadap Bali, meski saya harus mengerjakan proses pasca produksi ini secara “single fighter” sekitar empat tahun. Dia menjelaskan ide pembuatan dukumenter ini muncul sekitar pertengahan tahun 2004 ketika dia sedang belajar di Australia, sebagai seorang kamerawan TV yang mengikuti kasus Bom Bali sejak awal, tiba-tiba muncul keinginan untuk membuat sebuah dokumenter yang dapat menjadi referensi asli bagi siapa saja yang ingin mengetahui kasus ini.