SuaraBali.id - 43 Kepala Keluarga (KK) jamaah Ahmadiyah kini mengungsi di Transito, Kelurahan Pejanggik, Kota Mataram, NTB. Mereka merupakan korban penyerangan dan perusakan pada tahun 2002 dan 2006 di Lombok Timur.
Selepas penyerangan tersebut, mereka sempat menepi ke Lingkungan Ketapang Desa Kekeri Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat. Namun sekali lagi, mereka mendapat perlakuan yang sama.
Rumah mereka dibakar dan dirusak. Karena tak aman, mereka kemudian diungsikan dari tempat tersebut menuju lokasi pengungsian di Transito.
Hingga kini, seluruh jemaah Ahmadiyah masih hidup dan tinggal di lokasi tersebut. Kondisinya amat memprihatinkan.
Baca Juga:Panorama Alam Pantai Seger di Dekat Tikungan 10 Sirkuit Mandalika
Berdasarkan hasil pantauan, jemaah Ahmadiyah yang tinggal di tempat tersebut seolah dipaksa untuk nyaman. Ruangan rumah yang mereka tempati hanya dibatasi oleh papan sebagai pembatas.
Dalam satu ruangan, bisa ditempati oleh empat kepala keluarga. Satu kepala keluarga bisa terdiri atas 3-4 jiwa di dalam ruangan tak lebih dari 13 x 8 meter tersebut.
"Satu keluarga itu batasnya cuman empat jendela, ada juga yang tiga, di dalam pakai papan sebagai pembatas, ada juga yang pakai tirai," kata Risa, salah seorang jemaah Ahmadiyah yang ditemui di Transito pada Kamis, (23/12/2021).
Tak ada kamar mandi pribadi. Dapur seadanya. Mereka telah berusaha menyuarakan nasib mereka. Mulai dari pemerintah daerah, hingga datang ke Jakarta.
"Kalau saya sudah tiga kali mengalami insiden penyerangan, semuanya parah, saya juga sempat ke Sulawesi, tapi Kembali lagi ke sini," kata jemaah Ahmadiyah yang lain, Saharudin.
Baca Juga:Belum Ditemukan Kasus Covid-19 Varian Omicron di Mataram
Selanjutnya, Saharudin menambahkan bahwa merasa ada sesuatu yang janggal soal isu jemaah Ahmadiyah yang menyebar. Kami ini, kata Saharudin, diceritakan tentang sesuatu yang sebetulnya tidak benar.
"Kami dibilang beda syahadat lah, beda nabi, beda kitab," keluhnya.
"Orang Ahmadiyah ndak bisa bikin Al-Quran, orang Ahmadiyah ndak bisa bikin syahadat, yang bisa bikin syahadat hanya Allah saja," lanjutnya.
Menurutnya, isu-isu yang tidak benar itulah yang memantik respons buruk dari masyarakat.
"Makanya kami minta juga Pak Gubernur untuk sering-sering hadir di sini, berdialog, dengarkan keluhan kami," sebutnya.
Jemaah Ahmadiyah, kata Saharudin, tak pernah tidak taat terhadap pemerintah. Mereka, lanjut Sahar, selalu mengutamakan perintah dari atasan, termasuk instruksi pemerintah.
"Coba lihat, ndak ada sejarahnya jemaah Ahmadiyah pernah demo, tidak pernah, mau anarkis tidak pernah, karena itu tidak sesuai dengan silsilah ajaran para nabi. Kita cuman minta solusi dari gubernur," tandasnya.
"Yang kita ingin tanggung jawab dari pemda terhadap nasib kami, kan kami juga punya hak yang sama dengan masyarakat yang lain," katanya.
Sementara itu, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah memang sempat beberapa kali hadir ke tempat tersebut untuk berdialog dengan warga jemaah Ahmadiyah. Namun, hingga kini belum ada solusi konkrit yang ditawarkan.
"Saya beberapa kali hadir di situ," kata Gubernur NTB saat dikonfirmasi Suara.com.
Menurutnya, pihaknya telah menawarkan opsi untuk pindah. Namun, hal tersebut tak ujung menemukan titik temu.
"Sebenarnya dari dulu sudah kami tawarkan untuk pindah berinteraksi dengan masyarakat. Tapi kalau tetap Ingin eksklusif bersama teman-temannya doang itu yg kita agak kesulitan," kata Bang Zul.
Dialog antara pemprov NTB dengan warga jemaah Ahmadiyah mentok soal garansi keamanan yang diberikan. Sebab, jikapun pindah, jemaah Ahmadiyah masih khawatir soal keamanan hidup mereka.
"Kita bukannya tidak mau, tapi aman ndak kita kalau pindah," sebut jemaah Ahmadiyah.
Kontributor : Lalu Muhammad Helmi Akbar