SuaraBali.id - Pengalaman yang didapat oleh Yoseva Agung Prihandini mungkin tak akan terlupa sepanjang hidupnya. Yoseva yang merupakan gadis asal Bali lulusan jurusan matematika di Universitas Udayana ini berkesempatan bekerja sama dengan warga suku asli Aborigin di pedalaman Australia.
Kisahnya ini berawal dari ketertarikan mengenal lebih jauh tentang budaya di Australia yaitu suku asli Aborigin. Ia pun melamar pekerjaan administrasi sebagai Centrelink Officer di Komunitas Aborigin di Victoria Daly Regional, Kawasan Australia Utara atau Northern Territory (NT).
Setibanya di Australia pada tahun 2018, seperti ribuan anak-anak muda lainnya dengan Visa Working Holiday (WHV), Yoseva yang berasal dari Bali ini pernah bekerja di bidang-bidang yang banyak diminati para backpacker.
Bidang itu adalah pertanian atau bidang 'hospitality', sebagai pelayan restoran, tenaga pembersih, atau yang menerima pelanggan.
Menurutnya tidak mudah untuk bisa menemukan kerja kantoran di Australia bagi peserta WHV.
“Gagal puluhan kali ... sampai akhirnya dapat juga setelah proses rekrutmen yang menghabiskan waktu kurang lebih 2 bulan dengan wawancara dua kali, tes kesehatan dan juga mendapatkan vaksin tambahan," katanya kepada ABC Indonesia.
Pekerjaan yang membantu warga setempat
Yoseva berujar banyak warga Australia ragu untuk bekerja di kawasan-kawasan pedalaman karena sulitnya akses yang ditempuh menuju kota terpencil seperti Kalkarindji, serta lemahnya sinyal seluler.
Terlebih yang ditempuh dengan mobil ke kota tersebut sekitar 8-10 jam dari ibu kota Darwin, tergantung pada kecepatan mobil dan berapa lama beristirahat. Tak hanya itu, tidak semua jalanan mulus beraspal sehingga waktu tempuh sangatlah bervariasi.
Meski kota tempat ia bekerja lokasinya terpencil, Yoseva mengatakan masyarakatnya sangat ramah dan pekerjaannya menyenangkan.
"Pekerjaan utama saya seperti membantu penduduk mendaftarkan Kartu Kesehatan (Medicare), mengecek bantuan dana pemerintah untuk setiap orang, membantu pembuatan kartu untuk mereka yang berusia 18 tahun ke atas agar mudah mengakses pekerjaan”, katanya.
Yoseva juga membantu melakukan pendataan barang yang keluar masuk di Australian Post.
"Biasanya kami terima paket barang itu di hari Selasa melalui truk mengangkut barang ... dan hari Rabu surat-surat dan paket-paket kecil diantar melalui pesawat," tambahnya.
Karena lokasinya jauh dari perkotaan, Yoseva mengatakan bahan makanan dikirim setiap seminggu sekali melalui truk pengangkut dari kota Katherine, yang berjarak 463 kilometer dari Kalkarindji.
Belajar budaya warga Aborigin
Bekerja selama setahun di Kalkarindji membuat Yoseva belajar banyak budaya Aborigin yang menurutnya sangat menarik.
"Mereka tidak hanya pandai melukis, tetapi mereka juga mengajari banyak hal, termasuk bahasa dan cara bertahan hidup jika tersesat di hutan belantara."
"Biasanya saya bergabung memancing ikan Barramundi bersama saat akhir pekan, mereka mengajari saya bagaimana menangkap kura-kura dengan tangan kosong” tuturnya.
“Waktu saya sakit panas, saya juga diajari untuk menghirup air rebusan daun minyak kayu putih, atau marlun dalam Bahasa Gurindji, dan meminumnya pada saat dingin” katanya.
Ia juga mengatakan mendapatkan banyak pelajaran saat berbicara dan menatap warga Aborigin, agar menghindari kesalahpahaman yang bisa membuat mereka tersinggung. Tak hanya belajar budaya Aborigin, Yoseva juga mencoba memperkenalkan makanan Indonesia.
Setiap seminggu sekali ia membuat masakan, seperti rendang, sop buntut, ayam betutu, bolu kukus, kue lapis, kemudian ia bagikan kepada rekan kerja dan penduduk lokal.
"Menurut saya, pendekatan kepada orang asing yang paling mudah itu melalui makanan, biasanya mereka bilang Gastro Diplomacy," kata Yoseva.
Terlibat dalam perayaan sejarah
Di sela-sela pekerjaan administrasinya, Yoseva juga pernah menjadi relawan bersama perusahaan penduduk setempat bernama 'Gurindji Aboriginal Corporation'.
Yoseva mengatakan perusahaan tersebut dengan sukarela membantu warga Aborigin untuk membangun toko, kafe, motel kecil, serta menggelar acara festival tahunan.
"Bahkan mereka mendirikan tim konstruksi dan membantu merenovasi rumah-rumah penduduk setempat dengan dukungan keuangan dari Pemerintah NT juga," katanya.
Ia mengatakan ada beberapa orang di perusahaan tersebut yang mendapat gaji, tapi mereka mengutamakan warga Aborigin yang bekerja dan mendapat gaji.
Tahun ini, Yoseva menjadi relawan saat warga setempat merayakan 'Freedom Day Festival' yang digelar selama tiga hari dengan menampilkan musisi setempat, tarian, 'fashion show', dan acara makan bersama.
Festival ini digelar untuk memperingati sejarah warga Aborigin mendapatkan kebebasan dengan merebut kembali tanah mereka lewat perjuangan, serta melakukan perjalanan jauh setelah lari dari perbudakan, yang dipimpin oleh tokoh perjuangan bernama Vincent Lingiari.
Mereka yang datang ke festival ini bisa berkemah di area yang disediakan, tetapi kebanyakan dari mereka membawa karavan sendiri.
Tapi untuk tahun 2021 ini, festival digelar lebih kecil mengikuti aturan dan protokol kesehatan COVID-19 yang diberlakukan oleh Pemerintah NT.
Yoseva berharap jika tahun depan ia bisa kembali ikut terlibat dalam perayaan 'Festival Freedom Day'.
“Saya berharap juga suatu hari nanti kita bisa memperkenalkan budaya Indonesia lebih banyak kepada mereka seperti mempertunjukkan tarian kita atau makanan khas Indonesia dalam Festival tersebut di tahun-tahun ke depannya setiap bulan Agustus” tuturnya.
"Untuk teman-teman WHV dan masyarakat Indonesia di Australia yang tertarik untuk mengenal penduduk asli Aboriginal dan ingin bergabung menjadi sukarelawan dapat menghubungi Facebook atau Instagram Freedom Day Festival."
Setelah pengalamannya di Kawasan Australia Utara, Yoseva melanjutkan perjalanannya ke Queensland.
Saat ini ia bekerja sementara sebagai administrasi di Departemen Kesehatan Gold Coast, sambil melanjutkan pendidikannya di bidang kesehatan. (BBC)