SuaraBali.id - Cerita rakyat Bali Jayaprana dan Layonsari. Cerita rakyat Bali ini menceritakan simbol cinta Abadi.
Bahkan untuk mengenang cerita tersebut berdiri sebuah pura yang menjadi saksi pilunya kisah cinta ini. Kisah ini juga telah turun-temurun diceritakan sebagai tanda sakralnya cerita rakyat tersebut.
Berikut cerita Jayaprana dan Layonsari.
Awal Mula Menjadi Abdi Istana
Baca Juga:Petugas Gencar Keliling Malam Hari Data Duktang di Denpasar
Alkisah, di sebuah desa di Negeri Kalianget, Bali, hiduplah sebuah keluarga miskin. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami istri yang memiliki dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kehidupan keluarga ini sungguh memprihatinkan dan serba kekurangan.
Kesengsaraan keluarga itu semakin bertambah saat desa mereka diserang wabah penyakit yang menyebabkan empat orang dari keluarga itu meninggal dunia. Satu-satunya dari anggota keluarga itu yang selamat adalah si anak laki-laki bungsu bernama Jayaprana yang saat itu masih kecil.
Jayaprana menjadi seorang anak yatim piatu. Oleh karena tidak kuat menjalani hidup seorang diri, bocah itu memberanikan diri menghadap Raja Kalianget dan memohon agar diangkat menjadi abdi kerajaan.
Raja Kalianget mengambulkan permintaannya. Sejak itulah, Jayaprana mengabdi kepada Raja Kalianget. Meski demikian, Jayaprana tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya.
Ia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Setiap pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya sehingga tidak mengherankan jika ia menjadi abdi kesayangan sang raja.
Baca Juga:Sukmawati Soekarnoputri Pindah Agama ke Hindu
Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Ia pun menjadi idola para dayang-dayang istana. Suatu ketika, Raja Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih seorang dayang-dayang istana untuk dijadikan istri. Namun, rupanya Jayaprana lebih memilih untuk mencari calon istri dari luar istana.
“Ampun, Baginda! Hamba bukan bermaksud untuk menolak titah Baginda. Hamba ingin menikah, tapi bukan dengan dayang-dayang istana. Jika diperkenankan, izinkanlah hamba untuk mencari calon istri hamba di luar istana ini,” kata Jayaprana.
“Baiklah Jayaprana jika itu yang kamu inginkan. Aku pun tidak akan menghalangimu untuk memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu,” jawab Raja Kalianget.
Bertemu Layonsari
Mendapat persetujuan tersebut, pada keesokan harinya Jayaprana berjalan-jalan ke pasar yang terletak di depan istana. Setiba di pasar, ia sengaja duduk di depan pasar sambil memperhatikan gadis-gadis yang lewat di depannya. Tak berapa lama kemudian, tampak dari kejauhan seorang gadis berjalan melenggang dengan mengenakan pakaian cukup sederhana.
Gadis itu memiliki paras yang cantik serta senyum yang manis dan mempesona. Si gadis berjalan menuju ke pasar sambil menunduk malu-malu dan matanya sesekali melirik ke sekelilingnya. Jayaprana pun terpana saat melihat gadis yang cantik jelita itu.
“Oh, gadis itu sungguh cantik dan mempesona. Siapakah perempuan itu dan dari mana asalnya?” Tanyanya dalam hati.
Kecantikan gadis itu benar-benar memikat hati Jayaprana. Pandangannya terus mengikuti gadis itu sampai lewat di depannya. Sementara itu, si gadis cantik yang merasa diperhatikan tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana.
Sepasang mata pun bertemu seakan saling menyapa dan saling bicara. Walaupun tak ada kata-kata yang terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa jiwa. Tak dapat dipungkiri ungkapan rasa cinta dengan bahasa jiwa memang jauh lebih jujur, tulus, dan apa adanya. Begitulah yang dirasakan oleh Jayaprana dan gadis itu.
Pandangan pertama itu telah membuat mereka saling jatuh hati. Meski demikian, Jayaprana sebagai anak muda tentu berharap cintanya tidak kandas di tengah jalan. Demikian pula yang dirasakan oleh gadis itu.
Maka ketika Jayaprana melemparkan senyum kepada sang gadis, gadis itu pun membalas dengan senyuman manis. Ternyata cinta keduanya gayung bersambut, cinta mereka terjalin erat di lubuk hati yang paling dalam.
Setelah gadis itu berlalu dan menyelinap di balik keramaian orang di dalam pasar, Jayaprana segera mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya. Gadis itu bernama Layonsari, putri Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Ia pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada Raja Kalianget. Mendengar laporan itu, Raja Kalianget segera menulis sepucuk surat untuk Jero Bendesa.
“Besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu,” titah Raja Kalianget.
Jayaprana mengantar surat dari raja itu ke rumah Jero Bendesa. Setelah membaca isi surat itu dalam hati dan mengetahui isinya, Jero Bendesa pun setuju jika putrinya dinikahi oleh Jayaprana. Isi surat itu kemudian ia sampaikan kepada putrinya yang sedang duduk di sampingnya.
”Bagaimana putriku, apakah kamu bersedia menikah dengan Jayaprana?” tanya Jero Bendesa kepada putrinya.
Layonsari hanya tersenyum malu-malu. Walaupun tak terucap sepatah kata dari mulut sang gadis pujaan, namun Jayaprana mengerti lamarannya tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah itu, Jayaprana memohon diri kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Raja Kalianget.
“Ampun, Baginda! Lamaran hamba diterima oleh keluarga gadis itu,” lapor Jayaprana.
Pernikahan Jayaprana - Layonsari
Raja Kalianget pun langsung mengumumkan kepada seluruh keluarga istana perkawinan Jayaprana dengan Layonsari akan dilaksanakan pada hari Selasa Legi, Wuku Kuningan di halaman istana. Untuk itu, sang raja kemudian memerintahkan para patih dan punggawa istana untuk mendirikan balai-balai untuk keperluan pesta pernikahan abdi kesayangannya.
Saat hari pesta perkawinan itu tiba, Jayaprana bersama para patih dan punggawa istana serta masyarakat sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput calon istrinya. Setelah melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua mempelai kemudian diiring ke istana dengan menggunakan joli. Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli untuk memohon doa restu kepada Raja Kalianget.
Saat kedua mempelai memberi hormat di hadapannya, sang raja hanya membisu. Ia terpana melihat kecantikan Layonsari. Rupanya, Raja Kalianget jatuh hati kepada istri abdinya itu. Dari situlah muncul niat buruknya untuk merebut Layonsari dari Jayaprana.
Setelah pesta pernikahan rampung, Jayaprana bersama istrinya pun memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Raja Kalianget segera mengumpulkan seluruh patihnya untuk meminta pertimbangan tentang bagaimana cara menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam.
Niat Buruk Raja
“Jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila,” ucap Raja Kalianget.
Patih yang bernama I Saunggaling memberikan pertimbangan raja harus menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulan. Rencana ini hanya merupakan siasat agar mereka bisa menghabisi nyawa Jayaprana tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk Layonsari.
Beberapa hari kemudian, Raja Kalianget pun memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban (balai penghadapan). Jayaprana pun segera menghadap sang raja yang teramat dihormatinya.
“Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?” tanya Jayaprana.
“Ada tugas penting untukmu. Besok pagi-pagi kamu harus berangkat ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang kandas dan kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana!” titah raja.
Tanpa merasa curiga sedikit pun, Jayaprana langsung saja menerima perintah itu dan segera kembali ke rumahnya untuk menyampaikan berita itu kepada sang istri.
Mendengar berita itu, Layonsari tiba-tiba mendapat firasat buruk. Apalagi tadi malam ia bermimpi melihat rumah mereka dihanyutkan oleh banjir besar. Ia meminta agar Jayaprana membatalkan keberangkatannya ke Celuk Terima.
“Kanda, sebaiknya urungkan saja niat Kanda itu. Dinda khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri Kanda,” ujar Layonsari dengan cemas.
“Tidak, Dinda. Ini perintah raja. Kanda harus berangkat. Dinda tidak usah cemas, kematian ada di tangan Tuhan,” jawab Jayaprana.
Keesokan hari, berangkatlah Jayaprana ke Celuk Terima bersama Patih I Saunggaling dan sejumlah prajurit istana. Saat mereka melewati sebuah hutan lebat, Patih I Saunggaling menikam Jayaprana atas perintah Raja Kalianget. Keris patih itu tepat mengenai lambung kiri Jayaprana hingga tewas seketika. Setelah itu, Patih Saunggaling bersama rombongannya kembali ke istana untuk menyampaikan kabar palsu bahwa Jayaprana tewas karena diserang perampok.
Berita duka itu pun sampai di telinga Layonsari, namun ia tidak langsung mempercayainya. Ia tahu suaminya dibunuh atas perintah raja. Meski demikian, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak berdaya menentang raja seorang diri. Ia hanya bisa berdoa semoga kejahatan Raja Kalianget mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa.
Keesokan hari, Raja Kalianget datang menemui Layonsari. Di hadapan istri abdinya itu, ia berpura-pura sedih atas kematian Jayaprana. Setelah itu, ia mencoba merayu agar mau menjadi permaisurinya. Namun, Layonsari menolaknya dengan kata-kata halus.
“Maafkan hamba, Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba,” jawab Layonsari.
Raja Kalianget menjadi murka. Ia langsung menarik tangan Layonsari agar ikut bersamanya ke istana. Pada saat itulah, Layonsari mencabut keris yang terselip di pinggang sang prabu.
“Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Layonsari seraya menikam dirinya dengan keris itu.
Raja Kalianget baru saja ingin mencegahnya, namun tubuh Layonsari sudah tergeletak di tanah. Melihat Layonsari tewas, sang raja pun menjadi mengamuk. Ia langsung menyerang setiap orang yang ada di sekelilingnya.
Kejadian itu berlangsung hingga berhari-hari sehingga banyak orang menjadi korban karena tikaman keris Raja Kalianget. Perilaku sang Raja tersebut benar-benar meresahkan seluruh rakyat negeri itu. Akhirnya, para punggawa kerajaan memutuskan untuk menangkap sang raja dan memasukkannya ke dalam penjara.
Di tempat kematian Jayaprana akhirnya didirikan sebuah pura yang merupakan kuburan Jayaprana dan Layonsari.
Tempat ini menjadi tujuan acara Tita Yatra oleh umat Hindu, lokasinya berdekatan dan berada dalam satu jalur perjalanan seperti Rambutsiwi, Jayaprana, Pemuteran, Pulaki, dan Melanting.
Kontributor : Titi Sabanada