SuaraBali.id - Siang itu, suasana di Pondok Pesantren (Ponpes) Bali Bina Insani masih belum terlalu padat, maklum hari jumat merupakan hari libur para santri. Hanya ada beberapa pengurus pesantren dan warga sekitar yang sedang beraktivitas di pondok yang terletak di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali ini.
Ponpes Bali Bina Insani bisa dibilang adalah salah satu ponpes terbaik di Bali bahkan Indonesia. Karena salah satu semangatnya adalah memberikan inspirasi bahwa perdamaian diciptakan melalui toleransi.
Apalagi Bali Bina Insani berdiri di tengah kentalnya budaya dan adat istiadat masyarakat Hindu Bali.
Awalnya, pondok Pesantren Bali Bina Insani didirikan oleh seorang Putra Bali asal Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, Bali bernama I Ketut Immaduddin Djamal pada awal tahun 1991. Sekarang, sang pendiri sudah menjadi Hakim di Pengadilan Tinggi Agama Nusa Tenggara Barat (NTB) di Mataram.
Dari nama, pendiri Ponpes Bali Insani ini sudah menggunakan nama khas Bali Hindu di depannya yakni I Ketut. Nama I Ketut ini merupakan nama yang diberikan kepada anak keempat.
I Ketut Djamal mendirikan pondok ini berawal dari dirinya mengisi pengajian di wilayah Monang Maning, Denpasar pada 1991 silam. Saat itu ia memberikan pengajian terkait pelayanan terhadap para anak yatim piatu.
Setelah acara tersebut, ada seorang nenek yang bernama Sofiah Dewapere asal Sulawesi mendekati Ketut Djamal untuk membahas tentang pendirian pondok pesantren atau cikal bakal dari Ponpes Bali Bina Insani ini.
Kemudian, nenek tersebut menawarkan rumah dengan tanah seluas 4 are di Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan, Tabanan. Akhirnya tawaran tersebut diterima oleh Ketut Djamal.
Ketut Djamal bersama rekannya bernama Yuli Saiful Bahri pun mulai pondok tersebut.
“Tepat pada 27 oktober 1991 itu saya dan beliau (Ketut Djamal) kemudian membawa sebanyak 9 santri yatim piatu ke rumah di Sembung Gede saat itu masih berstatus . Namun setelah itu, ada dua anak yang tidak bisa menerima kondisi dan pulang sehingga tinggal 7 anak saja yang menjadi cikal bakal santri saat ini,” tutur Yuli Saiful Bahri yang saat ini menjadi Kepala Biro Sumber Daya Manusia Ponpes Bali Bina Insani, saat dijumpai Jumat 15 Oktober 2021.
Lanjutnya, saat itu nama dari Lembaga yang dibangun adalah Pondok Yatama yang artinya tempat tinggal untuk anak-anak yatim. Nama ini memang sudah direncanakan sebelumnya untuk memberikan kesan khusus.
Saat itu, keadaan dan kondisi memang sangat susah apalagi dengan jarak ke Kota Tabanan yang sangat lumayan jauh. Kemudian, dari waktu ke waktu keakraban dengan warga sekitar sedikit demi sedikit terjalin hingga akhirnya merasa seperti menjadi keluarga.
Bahkan, sering kali warga sekitar membantu dalam hal bahan pokok makanan seperti contohnya sayuran.
“Jadi sejak saat itu memang kita sudah melakukan apa yang dilakukan seperti biasanya. Dan sejak itu juga, persaudaraan Hindu dengan Islam di lembaga kami sudah sangat baik. Itu tidak kami rencanakan namun merupakan pertemuan dan masih terjalin hingga saat ini,” lanjutnya.
Selanjutnya, mereka kemudian semakin berkembang dan dua tahun kemudian atau pada tahun 1993 jumlah santri sudah bertambah sekitar 300 %. Sehingga hal ini membuat rumah dengan luas sekitar 2 are ini tidak cukup untuk menampung para santri. Kelanjutannya I Ketut Djamal mulai mencari lahan yang cocok untuk membangun ponpes yang layak.
Ketut Djamal yang dibantu dengan salah satu tokoh setempat memutuskan untuk membeli lahan yang berada di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan atau yang ditempati saat ini.
Setidaknya, proses pembelian lahan ini terjadi dalam dua tahun untuk lahan yang luasnya hampir 1 hektare ini. Sambil menunggu proses tersebut, aktivitas para anak yang tergabung dalam keluarga Pondok Yatama ini berjalan seperti biasa.
Ada yang sekolah di SD negeri, SMP Negeri, hingga SMA/SMK terdekat. Kemudian, pada 1996 para santri begitu juga dengan pendiri Lembaga akhirnya pindah ke Pondok Pesantren Bali Bina Insani.
“Jadi tahun 1996 itu kita mulai pindah dengan jalan kaki. Saat pindah juga warga sekitar sangat antusias menyambut kami,” kenangnya.
Rajutan keakraban itu berlanjut, semenjak baru pindah respons dari masyarakat sangat positif bahkan pesantren sering mendapat kunjungan. Sejak saat itu, Pondok ini juga terus berkembang setiap tahunnya, dari jumlah santri yang awalnya hanya 40 orang berkembang menjadi 100 hingga 200 orang santri.
Hingga akhirnya, Kepala SMPN 2 Kerambitan saat itu datang ke pondok untuk memberikan saran kepada H. I Ketut Djamal. Dimana ternyata Kasek tersebut merupakan keponakan dari Sofia Dewa Pere yang sebelumnya memberikan lahan untuk membangun pondok.
Ia menawarkan agar sebaiknya membangun SMP Islam mengingat jumlah santri yang banyak dan jarak dari pondok ke sekolah juga lumayan jauh. Akan tetapi karena SDM yang kurang saat itu, pihak pondok masih memikirkan saran tersebut. Kabar baiknya, Kasek SMPN 2 Kerambitan menawarkan SDM guru untuk membantu mengajar di sekolahnya nanti.
Hingga akhirnya, pada 9 Agustus 1996 dibangunlah Lembaga pendidikkan SMP Tsanawiah yang kemudian beroperasi di tahun berikutnya. Tahun 2000 menjadi angkatan pertama kelulusannya.
“Setelah itu, dari salah satu Kepala SMA juga datang ke sini untuk menawarkan hal yang sama. Mereka juga mensupport kita waktu itu dari segi SDMnya. Dan 1 Juli tahun 2000 Alyah beroperasi,” ungkapnya.
“Jadi memang sejak kami mulai lahir hingga sekarang antara Hindu dan Islam tidak ada perbedaan di sini. Kita tidak ada rencana menerima berapa guru yang Non-Muslim dan berapa guru Muslim yang terima. Namun ketika mereka ada niat untuk mengajar anak-anak kami. Kita langsung terima di sini,” tegasnya.
Kini sudah ada 385 santri yang mengenyam Pendidikan di Ponpes ini. Bahkan, mereka juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, salah satunya dari Aceh, Sumatera Utara.
Dalam keseharian mereka selalu mengedepankan toleransi terhadap agama lain. Terutama kepada Guru Hindu dan juga masyarakat sekitar. Selain itu ponpes juga membiasakan diri untuk menerapkan setidaknya tiga Bahasa yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Arab hingga Bahasa Inggris.
Diasuh Oleh 16 Guru Beragama Hindu
Ni Made Suardani merupakan salah satu guru Non-Islam yang menjadi tenaga pendidik di Ponpes Bali Bina Insani. Setidaknya ia sudah mengajar selama 17 tahun di sekolah berbasis agama Islam ini.
Suardani menegaskan, meskipun berbeda agama sekolah ini menerapkan toleransi yang sangat kuat sejak baru berdiri.
Satu dari 16 guru Hindu di Ponpes ini menceritakan, dirinya selama ini sangat nyaman memberikan pembelajaran kepada anak-anak di Ponpes. Hal itu disebabkan oleh karena toleransi yang begitu tinggi tetap terjaga sejak awal hingga sekarang dan juga diharapkan seterusnya.
“Selama 17 tahun saya mengajar di Ponpes Bali Bina Insani ini sebagai Guru Mapel Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),” katanya.
Ni made Suardani mengaku awal mengajar di Ponpes ini memang agak canggung karena menggunakan pakaian yang berbeda. Dari waktu ke waktu, ia kemudian menyesuaikan diri dengan lingkungan Pondok ini.
Bahkan, anak-anak di Ponpes diakui sangat terbuka terbukti dengan penghormatan yang dilakukan kepada gurunya terutama guru Non-Muslim.
“Kami di sini toleransinya sangat kuat. Karena sejak awal hingga sekarang selalu rukun dan terbuka kemudian juga saling menghargai. Salah satu contohnya adalah ketika siswa yang sangat hormat kepada gurunya tanpa mebeda-bedakan agama. Mereka itu tidak pernah membedakan kami sebagai guru yang non-muslim, bahkan jika bertemu mereka salim tangan seperti guru lainnya. Jadi penerapan toleransi sangat tinggi di pondok ini,” ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Ponpes Bali Bina Insani, Yuli Saiful Bahri. Bahwa, salah satu guru yakni Ni Made Suardani memang sudah mengajar sejak bujangan atau baru lulus kuliah.
Bahkan hingga saat ini, Ni Made Suardani merupakan satu-satunya guru Hindu pertama yang masuk proses sertifikasi. Hingga saat ini, total ada 16 guru Hindu yang mengajar di Ponpes Bali Bina Insani ini.
Hari Besar Agama Hindu, Ponpes Tiadakan Pembelajaran
Pendiri ponpes, I Ketut Immaduddin Djamal menuturkan, untuk menghormati saudara Hindu saat merayakan hari raya keagamaan, kegiatan pembelajaran dihentikan alias diliburkan.
Hal ini sudah dilakukan sejak turun temurun untuk menghormati komunitas Hindu di Bali khususnya Desa Meliling. Kegiatan yang diliburkan seperti pada hari Raya Galungan, Kuningan, Nyepi dan hari Libur keagamaan lainnya.
“Jadi itu merupakan cara kami untuk menghormati saudara Hindu yang sedang merayakan hari besar keagamaan,” ungkapnya.
I Ketut Djamal menegaskan, toleransi inilah yang begitu penting untuk dilakukan untuk tetap menjaga kedamaian di bumi ini. Apalagi, tidak pernah ada konflik atau penolakan dari warga setempat terkait keberadaan ponpes ini dari sejak berdiri pada 1991 silam.
“Ini karena rasa kebersamaan kita dan kita rasa ini adalah keluarga juga meskipun berbeda,” tegasnya.
Diberi Julukan Tolerance Boarding School Oleh Menlu RI Retno Marsudi Pada 2016
Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Ponpes Bali Bina Insani, Yuli Saiful Bahri menceritakan, pada tahun 2016 lalu Pondok Pesantren Bali Bina Insani mendapat apresiasi karena penerapan toleransi yang cukup kental di Bali. Saat itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan julukan ponpes ini dengan nama Tolerance Boarding School atau Asrama Toleransi.
Saat itu, pemberian penghargaan tersebut bermula saat acara Bali Democracy Forum (BDF) ke-9 yang mendatangkan 96 Negara. Momen ini merupakan anugerah terbesar dari Tuhan, karena saat itu Ponpes Bali Bina Insani menjadi salah satu yang akan dikunjungi oleh para tamu besar negara pada 9 Desember 2016.
Bali Bina Insani disanjung karena toleransi tinggi yang diterapkannya sejak baru berdiri pada 1991 silam. Salah satunya adalah dari sisi tenaga pendidik atau pengajar yang mana sebagian dari guru yang ada di Ponpes ini merupakan warga yang beragama Hindu.
Selain itu juga, sebagian anak-anak di Ponpes ini juga diajarkan berlatih seni dan kebudayaan Bali, terbukti dengan adanya santri yang mahir untuk menari Bali salah satunya Tari Puspanjali yang merupakan tari penyambutan dalam sebuah acara-acara di Bali.
“Jadi dulu kami kedatangan dari tamu negara acara Bali Democracy Forum itu. Saat itu kita juga didukung oleh Pemkab Tabanan juga untuk menyambut tamu dari forum yang digelar secara internasional itu,” jelasnya.
Dan pada saat acara, pria yang juga menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Bali Bina Insani memang sempat mengaku gugup. Namun ketika acara berlangsung dan Ponpes Bali Bina Insani dikenalkan oleh Presiden RI Joko Widodo di semua tamu dari berbagai negara sangat mendapat aplaus yang sungguh luar biasa.
Toleransi yang dijunjung tinggi di pondok ini sangat diapresiasi hingga akhirnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi memberikan apresiasi atau hadiah yakni nama Tolerance Boarding School termasuk plakatnya.
“Saat itu Bu Dani yang merupakan salah satu guru Hindu di sini memberikan testimoni selama mengajar di Ponpes ini. Dan salah satu hal yang paling diingat adalah bahwa Bu Dani ini tidak perlu menggunakan pakaian yang digunakan selayaknya umat muslim (jilbab) oleh pendiri kami H. I Ketut Djamal ini. Dan hal ini membuat mereka jatuh cinta dengan kami di sini,” kenangnya.
Pengaruh Bom Bali 12 Oktober 2002
Peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 silam menjadi momen yang terlupakan untuk masyarakat Bali pada umumnya. Selain itu, secara umum seluruh pondok pesantres yang ada termasuk Bali Bina Insani juga terkena dampaknya.
Pada saat itu, banyak warga atau masyarakat sekitar yang mulai mempertanyakan keberadaan ponpes ini. Apalagi Bali Bina Insani berdiri di lingkungan yang sangat kental dengan budaya dan adat istiadat Hindu Bali.
Namun hal itu tak berlangsung lama karena masyarakat sekitar yang memang sudah percaya bahwa hal tersebut jauh dari apa yang diterapkan Ponpes Bali Bina Insani.
“Pengaruhnya tentu sangat berat. Selain diterjang secara ekonomi, memang ada warga sekitar yang bertanya ke kami karena terprovokasi dengan peristiwa itu. Tapi pada akhirnya temen Hindu sendiri juga yang menyadarkan,” terangnya.
Tradisi Khusus Saat Hari Raya Hindu Maupun Islam
17 tahun mengajar di Bali Bina Insani, Ni Made Suardani juga menuturkan, toleransi yang tinggi ini tidak hanya diterapkan pada lingkungan pondok melainkan semua kalangan. Terutama ketika ada acara adat Hindu di lingkungan sekitar, dari pihak pondok akan datang berkunjung untuk membantu dan sebagainya.
Begitu juga sebaliknya, ketika ada kegiatan di pondok misalnya hari besar keagamaan, masyarakat sekitar juga diundang.
“Jadi selain di lingkungan sekolah, saat hari raya besar agama misalnya seperti Hari Idul Adha warga sekitar juga diberikan jotan seperti daging kambing dan sebagainya. Termasuk juga saat buka puasa bersama, masyarakat sekitar yang Hindu pasti diundang dalam kegiatan tersebut,” ungkapnya.
Kemudian juga, saat ada kegiatan upacara adat seperti misalnya odalan dan kegiatan pengabenan, perwakilan dari pondok pasti akan ikut berbaur dengan masyarakat sekitar untuk membantu, begitu pula sebaliknya. Tradisi seperti inilah yang terus dirawat sejak dulu hingga saat ini di Ponpes Bali Bina Insani.
KONTRIBUTOR : Putu Sastra Putra