SuaraBali.id - Wisatawan yang datang ke Bali, jangan lupa mencoba kenikmatan Nasi Jinggo.
Lalu, bagaimana sejarah asal-usul nama Nasi Jinggo? Dilansir dari Berita Bali, Minggu (12/9/2021), pemerhati kuliner Bali, Ketut "Gogonk" Pramana, mengungkap sejarah Nasi Jinggo yang berawal dari kawasan Suci Kota Denpasar.
Kini, lokasi tersebut menjadi sentra penjualan perhiasan emas dan parkir bawah tanah. Pada akhir tahun 70-an, tempat ini masih merupakan terminal angkut khusus untuk bemo roda tiga, bernama Penambangan Suci.
"Kala itu, pada malam harinya, Terminal Suci dipakai warga sekitar sebagai pasar 'senggol', area menjual beraneka makanan dan minuman. Pada salah satu sudut Senggol Suci, ada dua perempuan yang menjual nasi bungkus siap saji dengan ukuran mini," ujar Ketut.
Baca Juga:Pokdarwis: Sebulan Tak Ada Pengunjung di Karang Impian Beach Swing
Nasi bungkus ukuran mini berisi lauk serondeng kacang, ayam siwir, tempe goreng, dan yang tak terlupakan sambal tomat pedas. Nasi bungkus itu dibungkus dengan daun pisang beralas secarik koran bekas dan diikat dengan karet gelang.
Warung ini adalah satu-satunya tempat dimana nasi bungkus seperti itu bisa ditemui di seantero Denpasar.
Kedua perempuan tersebut menjual beberapa keranjang nasi bungkus mini setiap malamnya dan kebanyakan pelanggannya adalah anak anak muda yang suka bepergian pada malam hari.
Nasi bungkus mini dengan cita rasa pedas ini bisa dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Khusus untuk yang dibawa pulang, dua penjual perempuan itu tidak lupa menambahkan ekstra sambal pedas sebagai bonus.
Asal Kata Jinggo
Di sekitar tahun yang sama, di salah satu bioskop ternama di Denpasar sedang diputar film cowboy yang dibintangi oleh Franco Nero berjudul "Jango" (baca jenggo).
Film ini wajib ditonton anak muda kala itu. Entah siapa yang memulai, nasi bungkus mini di "Penambangan" (terminal) Suci Denpasar ini kemudian diberi nama "Nasi Jango" karena nasi bungkus ini dianggap mewakili gaya cowboy mereka. Kurang lebih istilah cowboy kala itu adalah "keren merakyat" (cool).
Baca Juga:Tempat Wisata Mulai Dibuka, Sosiolog di Bali Minta Waspadai Ancaman Gelombang Ketiga
Setelah Terminal Suci dibangun dan kondisinya berubah seperti sekarang, kedua perempuan penjual nasi "Jango" itu tak ada kabarnya. Tahun 80-an cerita Nasi Jinggo kemudian berpindah ke jalan Gajah Mada Denpasar.
Kali ini, Nasi Jinggo versi jalan Gajah Mada dibungkus dengan daun pisang segar walau isianya kurang lebih sama seperti versi Terminal Suci.
Kala itu anak muda Denpasar tidak menamakan nasi bungkus tersebut dengan Nasi Jango atau Jinggo, tapi nasi 'Gang Bronx' dan kebetulan nasi itu dijual di gang-gang yang ada di depan pasar Kumbasari. Istilah Bronx diambil dari film breakdance yang berkisah tentang kehidupan anak muda di daerah Bronx Amerika Serikat.
Kini Nasi Jinggo sudah lebih berkembang. Isinya pun lebih variatif, ada Nasi Jinggo babi kecap, Nasi Jinggo sela (ketela), Nasi Jinggo rendang, Nasi Jinggo super dan lainnya.
Penulisan Jango pun berubah. Mungkin atas pertimbangan strategi pemasaran sehingga ada yang menulis Nasi Jenggo, Jinggo, bahkan nasi Jenggot.