Kearifan lokal terkadang juga digunakan sebagai legitimasi kekuasaan pada zaman raja-raja dulu. Sebagai contoh, gempa bumi pada 1256 Saka atau 1334 Masehi di Jawa Timur. Serat Pararaton mencatat, dikutip dari Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) karya Slamet Muljana, alam berguncang sesaat sebelum lahirnya Hayam Wuruk (hlm. 133).
Pararaton memaknai gempa bumi itu sebagai penanda perubahan, bahwa akan lahir seorang calon raja besar. Dan memang, Hayam Wuruk—bersama Mahapatih Gajah Mada—nantinya menjadi raja yang berhasil membawa Kerajaan Majapahit merengkuh kejayaan, bahkan sebagai imperium terbesar kala itu.
Namun, kitab kuno kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Dituliskan Aminuddin Kasdi dalam Serat Pararaton Atawa Katuturanira Ken Arok: Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah (2008), Pararaton berfungsi untuk memberikan pengukuhan terhadap Dinasti Rajasa atau keturunan Ken Arok, termasuk Hayam Wuruk (hlm. 30).
Politisasi gejala alam yang tertulis dalam naskah lama juga pernah digunakan sebagai legitimasi oleh Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat melalui Babad Galuh.
Baca Juga:Gempa Magnitudo 4,8 Guncang Pasaman, Begini Pengakuan Warga
Penobatan Prabu Siliwangi pada 1482 dibarengi dengan terjadinya gempa bumi yang diklaim sebagai sambutan alam bahwa raja baru yang akan membawa kemajuan telah hadir.
Selain dijadikan legitimasi, sumber-sumber kuno semacam itu juga sangat diragukan validitasnya. Yakob Sumarjo dan Saini K.M. dalam Hermeneutika Sunda: Simbol-simbol Babad Pakuan (2004) menyebutkan bahwa penulisan Babad Galuh, misalnya, hanya diperoleh dari bahan-bahan yang berupa mitos (hlm. 125).
Kearifan Lokal Bisa Rasional Cukup banyak gempa bumi atau tsunami di Nusantara pada masa silam yang tercatat dalam hikayat. Ada beberapa kearifan lokal yang justru memberikan panduan dengan lebih rasional terkait terjadinya bencana alam, termasuk gempa bumi atau tsunami.
Lontarak Pangissengeng salah satunya. Naskah kuno dalam tradisi masyarakat Bugis ini membahas beberapa hal terkait gempa bumi yang sering melanda wilayah Sulawesi pada masa silam. Ada pesan positif yang terkandung dalam catatan lama itu tentang gempa. Gempa bumi, seperti dikutip dari buku Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan (1991) karya Ahmad Yunus, terjadi karena tingkah laku manusia.
Orang-orang besar (para pemimpin) bertikai, demikian pula orang banyak atau masyarakat luas (hlm. 81).
Baca Juga:Sejarah Penyebaran Agama Islam di Bali
Di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja diterpa gempa bumi diikuti tsunami dengan menelan korban ribuan jiwa, juga terdapat kearifan lokal yang rasional.