- Warga Adat Jimbaran mengadu ke DPRD Bali karena akses ibadah di 3 pura dibatasi oleh pihak swasta
- Warga harus melapor ke keamanan dan melewati portal terkunci untuk bisa bersembahyang di area pura.
- Aduan didasari klaim bahwa Hak Guna Bangunan (SHGB) perusahaan di tanah itu sudah habis di 2019
SuaraBali.id - Warga Desa Adat Jimbaran melakukan pengaduan kepada DPRD Provinsi Bali karena akses mereka untuk beribadah di Pura di desa setempat dibatasi.
Masyarakat dibatasi untuk beribadah di 3 dari 9 pura yang ada di sana.
Bendesa Adat Jimbaran, Anak Agung Made Rai Dirga menjelaskan jika dirinya kerap mendapat pengaduan dari warganya yang dibatasi untuk bersembahyang di 3 pura meliputi Pura Belong Batu Nunggul, Pura Batu Layah, dan Pura Batu Mejan.
Dia menjelaskan jika pembatasan itu terjadi karena tanah di sekitar pura itu dioperasikan oleh Jimbaran Hijau.
Selama hampir 15 tahun pengoperasian tanah tersebut, warga setempat harus mengalami banyak kendala ketika hendak beribadah di sana.
Dirga mengungkap jika warga setempat harus melapor kepada keamanan Jibaran Hijau jika hendak bersembahyang.
Jalan masuknya juga dipasangi portal, sehingga jika tidak ada petugas yang membawa kunci portal maka warga tidak dapat beribadah.
“Kalau tidak ada petugas yang pegang kunci gembok portal ya nggak bisa masuk,” tuturnya saat ditemui di Kantor DPRD Provinsi Bali, Rabu (3/11/2025).
“Itu yang terjadi dan kami terus menerus berhadapan dengan warga kami, (mengadu) "pak saya tidak bisa masuk, gimana ini", terus menerus ada pertanyaan seperti itu,” imbuhnya.
Baca Juga: Bali Siaga, BMKG Umumkan Jadwal Musim Hujan & Peringatan Cuaca Ekstrem 2025/2026
Tanah di kawasan pura itu disebutnya merupakan tanah milik negara. Tanah itu kemudian disebut dihibahkan kepada swasta dengan sistem Hak Guna Bangunan pada tahun 1994 lalu.
Pengaduannya tersebut juga dilakukan karena dalam klaimnya, masa berlaku Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dari tanah tersebut seharusnya sudah habis sejak tahun 2019 lalu.
“Secara umum kami berani melangkah karena Paruman (musyawarah adat) 2014 menyatakan tidak boleh ada pejabat mana pun di Jimbaran yang menandatangani perpanjangan SHGB,” papar Dirga
“Seharusnya kalau tanah itu diserahkan 1994, SHGB (Jimbaran Hijau) berakhir 2019,” ungkapnya.
Setelah tahun 2019, beragam upaya telah dilakukannya untuk mempertanyakan status tanah tersebut. termasuk juga dengan mengirim surat kepada Jimbaran Hijau.
Terbaru, dia sempat melakukan mediasi dengan Jimbaran Hijau, namun tidak ada kesepakatan yang dicapai.
Berita Terkait
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026