- Desa Bayung Gede, desa Bali Aga, punya tradisi unik gantung ari-ari bayi di pohon bukak.
- Ari-ari digantung di batok kelapa untuk melindungi bayi secara magis dari segala bahaya.
- Tradisi ini wajib, jika melanggar akan dikenai denda dan upacara pembersihan pekarangan
SuaraBali.id - Jauh dari hiruk pikuk pariwisata modern, di jantung perbukitan Kintamani, Kabupaten Bangli, terdapat sebuah desa di mana waktu seolah berjalan lebih lambat.
Inilah Desa Bayung Gede, salah satu benteng terakhir kebudayaan Bali Aga, warisan asli Pulau Dewata sebelum gelombang pengaruh Majapahit tiba.
Di sini, tradisi bukan sekadar seremoni, melainkan napas kehidupan itu sendiri.
Di antara sekian banyak ritual uniknya, ada satu yang paling memukau sekaligus menyentuh: tradisi merawat ari-ari atau plasenta bayi.
Jika di tempat lain ari-ari dikubur di pekarangan rumah, di Bayung Gede, ia diperlakukan sebagai entitas suci yang "dimakamkan" dengan cara digantung di sebuah hutan keramat yang disebut Setra Ari-Ari.
Prosesnya adalah sebuah ritual penuh makna. Ketika seorang bayi lahir, ari-arinya yang dianggap sebagai saudara kembar atau nyama bajang dibersihkan dengan saksama.
Kemudian, ia dimasukkan ke dalam batok kelapa yang telah diisi rempah-rempah dan kapur sirih, lalu ditulisi nama agar tak tertukar.
Batok kelapa itu kemudian dibawa ke Setra Ari-Ari dan digantungkan dengan hormat di dahan-dahan pohon bukak.
Di sinilah keajaiban dimulai. Meskipun ratusan batok kelapa berisi ari-ari tergantung di sana, beberapa bahkan telah lapuk dimakan usia, tak ada sedikit pun bau busuk yang tercium.
Baca Juga: Catat, Jadwal Dan Agenda Sanur Village Festival 2025 di Denpasar
Masyarakat setempat percaya bahwa pohon bukak memiliki kekuatan magis untuk menyerap dan menetralkan segala aroma tak sedap.
Namun, makna tradisi ini jauh lebih dalam dari sekadar keunikan. Menggantung ari-ari di pohon kehidupan ini adalah doa dan harapan.
Warga meyakini ritual ini akan memberikan perlindungan magis bagi sang bayi, menjauhkannya dari penyakit, dan melindunginya dari gangguan makhluk halus seumur hidupnya.
Tradisi ini begitu sakral sehingga pelanggarannya akan dikenai sanksi adat berupa denda 200 keping uang kuno (uang bolong) dan kewajiban menggelar upacara penyucian.
Bagi masyarakat Bayung Gede, ini bukanlah pilihan, melainkan kewajiban untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan leluhur.
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- 9 Mobil Bekas dengan Rem Paling Pakem untuk Keamanan Pengguna Harian
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
Pilihan
-
Rupiah Dijamin Stabil di Akhir Tahun, Ini Obat Kuatnya
-
Kehabisan Gas dan Bahan Baku, Dapur MBG Aceh Bertahan dengan Menu Lokal
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
Terkini
-
BRI Perkuat Tata Kelola dan Akselerasi Kinerja Tahun 2026 dalam RUPSLB
-
BRI Bagikan Dividen Interim Tahun Buku 2025 Sebesar Rp137 per Saham
-
Motif Dendam Terungkap! Kronologi Pembunuhan Turis Spanyol di Hotel Senggigi
-
Mengapa Monyet di Hutan Ubud Dianggap Hewan Suci?
-
Rahasia Wisatawan Cerdas Hemat Waktu dan Uang Liburan di Bali