Eviera Paramita Sandi
Selasa, 19 Agustus 2025 | 11:55 WIB
Bisnis Trifting alias pakaian bekas di Denpasar. [Istimewa/beritabali.com]

SuaraBali.id - Pemerintah pusat telah secara tegas melarang impor pakaian bekas untuk melindungi industri garmen dalam negeri.

Namun, kebijakan tersebut seakan menjadi macan kertas di Kota Denpasar, di mana bisnis thrifting tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang pesat dan terbuka.

Fenomena ini menjadi ironi di tengah upaya pemerintah, termasuk pengawasan ketat oleh pihak bea cukai, untuk membendung arus masuk pakaian bekas selundupan.

Di lapangan, khususnya di kawasan strategis seperti Pasar Badung, larangan tersebut seolah tak ada artinya.

Ratusan pedagang dengan leluasa menggelar dagangan mereka, meraup omzet hingga ratusan ribu rupiah setiap hari dari pakaian bekas yang kondisinya seringkali masih sangat layak.

Aktivitas ilegal ini berjalan begitu normal hingga menjadi bagian dari roda ekonomi lokal.

Seorang pedagang asal Lombok yang telah setahun berbisnis di Pasar Badung bahkan memiliki kalender penjualannya sendiri, yang puncaknya justru bersandar pada hari-hari besar keagamaan.

"Ramai pembeli saat hari Galungan dan Kuningan. Kalau lebaran, kurang begitu ramai karena banyak mudik," akunya, saat ditemui belum lama ini sebagaimana diwartakan beritabali.com- jaringan suara.com.

Para pedagang ini merasa resmi untuk beroperasi, karena adanya kewajiban membayar retribusi kepada pengelola pasar.

Baca Juga: 12 Saluran TV Digital Baru Resmi Mengudara dari Turyapada Tower

Hal ini seolah menjadi izin yang secara tidak langsung dikeluarkan otoritas setempat.

"Menyoal adanya pelarangan jualan baju bekas, sementara ini kami disini aman aman saja. Buktinya tetap dimintain retribusi oleh pihak pasar dan kami aman jualan disini," tegasnya.

Tren thrifting kini juga berkembang melalui toko khusus atau thrift shop.

Kegiatan ini semakin digandrungi karena dinilai lebih hemat, ramah lingkungan, dan memberikan kesempatan mendapatkan pakaian bermerek dengan harga murah.

Load More