Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 09:15 WIB
Ilustrasi sawah [Suara.com/Muhammad Yunus]

SuaraBali.id - Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB P2) yang meroket kini juga menjadi hantu menakutkan bagi pemilik lahan di Bali.

Sebagaimana di daerah lain yang memicu protes besar-besaran, kini Pulau Dewata mulai diresahkan dengan hal yang sama.

Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati  atau Cok Ace khawatir Bali di ambang krisis penjualan tanah massal.

Menurut Cok Ace, berdasarkan laporan, tagihan pajak yang membengkak, bahkan ada yang naik lebih dari dua kali lipat.

"Ini ada pertanyaan, kenapa kenaikannya signifikan dan cepat sekali? Ada yang 150 persen, bahkan lebih. Jadi, kalau sekarang misalnya Rp4 juta, tiba-tiba menjadi Rp10 juta," ungkap Cok Ace, Jumat (15/8/2025).

Kebijaan ini tak pandang bulu. Bukan cuma hotel dan restoran mewah yang disasar, tapi juga tanah kosong petani dan kabarnya bahkan rumah tinggal yang dijadikan homestay sederhana ikut jadi korban.

Aturan mainnya pun dianggap tidak jelas.

"Kalau tanahnya produktif tidak apa-apa, tapi kalau tidak produktif kan susah. Ini juga belum clear sekali, mana yang dibebaskan atau tidak dinaikkan. Dibilang rumah tinggal tidak, tapi ada rumah tinggal yang seperti homestay juga kena," jelasnya.

Cok Ace memperingatkan, ini adalah bom waktu, Para petani yang tanahnya tak menghasilkan apa-apa kini dipaksa membayar pajak selangit.

Baca Juga: Bukan Teba Modern, Pemkab Badung Pilih Beli 10 Incinerator Untuk Bakar Sampah

Pilihannya hanya dua: tercekik utang pajak, atau jual tanah warisan mereka.

"Ini sebenarnya juga salah satu hal yang mendorong para petani menjual tanahnya. Ketika dia tidak menghasilkan, tapi pajaknya tinggi, daripada dia merawat tanah yang tidak menghasilkan, lebih baik dia lepas saja. Ini berdampak pada alih fungsi lahan," tegas mantan wakil Gubernur Bali ini.

Cok Ace berharap pemerintah kabupaten/kota dapat meninjau kembali kebijakan ini dan membuat klasifikasi yang lebih jelas.

Load More