Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Sabtu, 18 Mei 2024 | 18:20 WIB
Direktur WALHI Bali, Made Krisna Dinata [Istimewa]

SuaraBali.id - Perhelatan konferensi Internasional World Water Forum (WWF) 10 diadakan pada 18 hingga 25 Mei 2024 di Bali. World Water Forum sendiri merupakan pertemuan internasional yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan di sektor sumber daya air, mulai dari pemerintah, parlemen, pemimpin politik, lembaga multilateral, politisi, akademisi, masyarakat sipil, pelaku usaha, dan lain sebagainya.

Dalam WWF ke-10 ini ada enam sub-tema utama yang diusung yakni ketahanan dan kesejahteraan air, air untuk manusia dan alam, pengurangan dan pengelolaan risiko bencana, tata kelola, kerja sama, dan hidro-diplomasi, pembiayaan air berkelanjutan, dan pengetahuan dan inovasi.

Ada belasan kepala negara dan sekitar 50 ribu peserta menghadiri World Water Forum ini termasuk pengusaha dan calon investor diantaranya Elon Musk yang rencananya akan diajak berkeliling Bali.

Namun lepas dari acara besarnya sendiri, gelaran ini sendiri juga diharapkan menyoroti masalah domestik tentang lingkungannya. Organisasi pemerhati lingkungan WALHI Bali memberikan tanggapan terkait konferensi tentang air di Pulau Dewata ini.

Baca Juga: Polisi Hapus Kode Jaringan Narkoba di Kuta Utara Ada di Dinding Rumah Sampai Gang

Menurut Direktur WALHI Bali, Made Krisna Dinata, di Bali sendiri banyak pembangunan infrastruktur yang mengdegradasi bahkan menghilangan Subak atau sistem irigasi tradisional air di Bali.

Ia menyebutkan kebijakan pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi yang terbentang dari Gilimanuk hingga Mengwi sepanjang 96,21 km akan menerabas 480,54 Hektar sawah produktif dan 98 wilayah Subak yang ada di sepanjang wilayah tersebut.

Sedangkan pembangunan pelabuhan terintegrasi Sangsit yang akan di bangun di Bali Utara juga akan menerabas sawah seluas 26.193 meter persegi yang tentu akan mengancam 4 subak yang berada pada wilayah tersebut. 

Selanjutnya ada juga proyek Pusat Kebudayaan Bali di Bali Timur yang juga telah mengorbankan lahan persawahan hingga 9,38 hektar dan menyebabkan subak Gunaksa terdampak.

"Proyek-proyek tersebut justru mengancam Water Security and Prosperity (Keamanan dan kemakmuran air) yang tentunya akan berdampak pada peruntukan pertanian tanaman pangan hingga degradasi budaya dan hilangnya subak yang ada di tapak proyek tersebut,” kata pria yang karib disapa Bokis ini sebagaimana keterangan pers yang diterima suarabali.id, Sabtu (18/5/2024).  

Baca Juga: Bak Uji Nyali, Pria Ini Dicegat Kawanan Monyet di Jalanan yang Sepi

Padahal Subak dengan fungsi hidrologisnya merupakan salah tampungan alami bagi air. Setiap hektarnya mampu menampung air sebanyak 3000 ton bila air tingginya 7 cm.

Apabila subak terus berkurang dan habis maka secara langsung Bali akan mudah diterpa bencana, seperti banjir.

Selain itu Bokis juga menyoroti masifnya alih fungsi lahan akibat pembangunan akomodasi parawisata yang tentu sangat banyak mengkonsumsi air dalam aktivitasnya operasionalnya.

Pembangunan hotel dan sarana akomodasi pariwisata lainnya amat meningkat tajam bahkan hingga dua sampai tiga kali lipat.

Data Badan Pusat Statistik menunjukan pada tahun 2000 jumlah hotel bintang sebanyak 113 hotel dan di tahun 2023 menjadi 541 hotel, dengan jumlah kamar di tahun 2000 berjumlah 19.529 dan meningkat tajam menjadi 54.184 di tahun 2023.

"Angka tersebut menunjukan pertumbuhan yang amat signifikan terlebih beberapa pakar telah menyebutkan jika Bali telah Overtourism bahkan Overbuild, banyak penelitian yang mengungkapkan jika akomodasi paraiwisata adalah satu industri yang rakus akan air yang mana dalam beberapa penelitian menyebutkan jika satu kamar hotel membutuhkan 800 liter/kamar/hari , sangat jauh lebih banyak ketimbang kebutuhan rumah tangga" tegasnya.

Menurutnya, Pembangunan infrastruktur yang menyebabkan alih fungsi lahan dan mengurangi jumlah subak di Bali tentunya merupakan hal nyata yang mengantarkan Bali pada krisis air.

Terlebih banyak temuan jika akomodasi pariwisata lebih banyak menggunakan air bawah tanah (ABT) ditambah dengan peruntukan kawasan hujau yang hingga kini tidak memenuhi kriteria sebanyak 30 persen sesuai luas wilayah dalam ketentuan peraturannya.

"Sehingga kami mendesak pemangku kebijakan untuk menghentikan segala bentuk pembangunan yang ekstraktif dan memperparah keadaan lingkungan yang menganvam ketersediaan air dan yang mengancam Subak di Bali" tandasnya.

Load More