Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Rabu, 15 Desember 2021 | 10:21 WIB
Gunung Agung di Pulau Bali. [Shutterstock]

SuaraBali.id - Meletusnya Gunung Agung di Bali pada 17 Maret 1963 menjadi ingatan yang tidak akan pernah dilupakan bagi para penyintasnya. Sebelum gunung yang dijuluki Sang Hyang Tohlangkir ini meletus, sejumlah pertanda alam seperti gempa bumi dan keluarnya binatang dari dalam tanah terjadi.

Seorang penyintas dahsyatnya letusan Gunung Agung di Bali ini kembali menceritakan pengalmaannya. Made Suganda mengungkapkannya dalam buku Bali Jadul yang disusun oleh Putu Setiawan.

Diceritakan Made Suganda saat itu kira-kira di bulan Februari tahun 1963 : Sepulang dari sekolah, setelah melepas pakaian sekolah maka saya pergi ke sawah membawa "sendok saring" untuk mencari siput sawah atau "kakul".

Pada saat itu saya betul-betul merasa heran dan seolah-olah tidak percaya dimana di sepanjang pematang sawah yang ada di ujing paling barat rumah saya (sekarang kantor KPU Bangli) saya melihat siput, kakul, belut, dan mahluk sawah lainnya keluar seolah-olah panik dan berjejer di sepanjang pematang sawah.

Baca Juga: Cetuskan Ide Tukar Sampah Plastik Dengan Beras, Made Janur Yasa Jadi Heroes 2021

Dengan  semangat dan rasa gembira saya menangkap dan memasukkannya ke dalam "dungki" atau wadah untuk menampung ikan yang terbuat dari bambu.

Saking banyaknya binatang-binatang tersebut maka tempat"dungki" itu tidak bisa menampungnya lalu saya bawa pulang ke rumah dan simpan di dalam "paso" atau sejenis baskom tempat merendam beras yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu saya balik lagi ke sawah dengan membawa "dungki" dan ember besi berkapasitas sekitar 5 liter.

Sesampai di sawah saya menjadi kaget karena melihat banyak orang hampir puluhan orang yang juga sangat bersemangat menangkap binatang-binatang sawah tersebut dan sambil sesekali mereka berteriak "hidup". Kata itu  diteriakkan berkali-kali dan sambung menyambung. Ada seseorang yang sudah tua memberitahu saya untuk ikut berteriak kata yang sama: "hidup".

Setelah mereka menanyakan ke saya tentang getaran tanah barulah saya dapat merasakannya, bahwa tanah yang saya injak terus bergetar dan sekali-kali bergoyang. Pada saat itulah saya baru pertama kali merasakan yang namanya gempa bumi.

Setelah wadah atau tempat penampungan yang saya bawa penuh maka saya bergegas pulang. Ternyata siput dan binatang-binatang sawah lainnya yang naik ke permukaan dari dalam tanah sawah sangat banyak dan saya kekurangan tempat penampungan di rumah.

Baca Juga: Terkini, Gempa M 4,2 Guncang Kuta Selatan Bali

Pada saat itu saya berumur sebelas tahun  dan duduk di bangku sekolah rakyat kelas 4.

Keesokan harinya saya pergi ke sekolah seperti biasa. Setelah masuk ke dalam kelas saya dan teman-teman sekelas mendengar bunyi dentuman yang menggelegar keras.

Kami semua pada berhamburan keluar kelas. Pada saat itu ayah saya menjadi Kepala Sekolah di SR Nomor 1 Bangli dimana saya bersekolah. Beliau memberikan pengumuman bahwa Gunung Agung yang ada di wilayah Kabupaten Karangasem meletus sambil menunjuk asap yang mengepul berbentuk jamur raksasa, seolah-olah berhamburan keluar dari perut bumi di arah timur laut kota Bangli.

Kontan saja anak-anak sekolah berusaha untuk melihat lebih jelas letusan itu. Ada yang berebutan naik ke pohon leci yang tumbuh di halaman sekolah dimana ada dua pohon. Sedangkan saya sendiri naik ke tembok pagar sekolah.

Melihat kejadian alam yang begitu dasyat timbul rasa takjub atas kebesaran Tuhan dan sekaligus muncul rasa ancaman atas bencana-bencana yang ditimbulkan sehingga membuat saya ketakutan. Seketika itu juga masyarakat umum mengetahui tentang bencana alam tersebut.

Sepulang saya dari sekolah, tanah tidak henti-hentinya bergetar dan diselingi dengan suara dentuman yang menggelegar. Ayah saya setibanya di rumah memberikan pengarahan agar anggota keluarga semua tidak panik.

Pada saat hari telah senja dan suasana menjadi remang-remang, saya lihat beberapa orang dewasa pergi ke sawah seperti biasa untuk memasang "bubu". Saya dengan sangat jelas dapat melihat mereka karena hamparan sawah tersebut ada di belakang halaman rumah saya yang dibatasi hanya dengan pagar pepohonan yang tingginya sebahu orang dewasa.

Namun saya menjadi kaget dan bertanya-tanya dalam hati ketika mereka kompa berdiri bersama-sama dan menghadap ke arah timur laut. Setelah beberapa saat kemudian mereka berteriak saling sambung menyambung dengan kata "api, api, api", kemudian berteriak "gunung meletus" berkali-kali.

Hal tersebut kontan saja membuat saya panik dan ikut berteriak sehingga semua anggota keluarga keluar rumah dan berdiri di halaman belakang. Karena rasa ingin tahu yang terlalu besar maka kami satu persatu pergi menuju sawah lewat celah-celah pagar belakang rumah.

Setelah sampai di sawah maka saya  menoleh ke arah timur laut. Sangat menakjubkan melihat kejadian alam yang begitu dasyat. Gunung Agung yang kesehariannya terlihat cantik nan agung dan menjulang tinggi diantara pepohonan yang menghijau serta langit yang membiru berbentuk lancip seperti piramida kini telah berubah.

Pada malam itu Gunung Agung seolah-olah murka dengan menyemburkan gumpalan-gumpalan api dari dalam perutnya. Api yang keluar dari dalam kawah dapat saya dan juga kami lihat dengan jelas menyinari puncak gunung sehingga terlihat dengan jelas.

Suara dentuman mengawali dan kemudian api menyembur ke angkasa. Aktivitas ini berlangsung terus menerus pada malam hari. Terkadang api yang keluar ukurannya kecil dan sesaat kemudian ukurannya lebih besar dan disusul dengan dentumah yang kemudian mengeluarkan api ukuran raksasa. Sungguh menakjubkan dan sekaligus menakutkan.

Kejadian berlangsung terus menerus setiap hari entah sampai berapa hari, minggu atau bulan. Semenjak itu perhatian masyarakat pada umumnya mengarah kepada Gunung Agung.

Kalau pagi hari kepulan asap tebal membumbung tinggi ke angkasa yang mana seolah-olah berlomba-lomba keluar dari perut bumi dengan bentuk jamur raksasa.

Load More