SuaraBali.id - Ni Nyoman Reja (93) yang harus dibopong saat memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar telah melekat di benak publik.
Kondisi fisiknya yang ringkih menjadi simbol nyata dari seorang lansia yang harus berhadapan dengan proses hukum yang melelahkan di usianya yang senja.
Kondisi inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan utama Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat merumuskan tuntutan pidananya.
Dalam sidang, Selasa (29/7/2025), JPU secara eksplisit mengakui usia Nenek Reja sebagai faktor yang meringankan.
Baca Juga:WNA Azerbaijan Nekat Rampok Money Changer di Bali, Uang Berserakan di Jalan
Ia bersama I Ketut Senta (78), menerima tuntutan yang jauh lebih ringan dibandingkan 15 terdakwa lainnya, yakni 1 bulan 4 hari penjara.
Pertimbangan ini didasari oleh rasa kemanusiaan. Jaksa melihat kondisi renta Nenek Reja sebagai alasan untuk tidak menerapkan hukuman pidana penjara secara harfiah.
"Kami menuntut dia khusus, selama ini dia kan ditahan di rumah pas selama dia masa dia ditahan. Jadi (kalau) putusannya (sama) nanti dia gak perlu menjalani pidana di rutan karena selama ini kan perampasan kemerdekaan sudah dijalankan selama jadi tahanan rumah, kan gak bisa ke mana-mana. Mengingat kemanusiaan," tutur JPU.
Meski demikian, jaksa tetap berada di persimpangan antara iba dan kewajiban. Di satu sisi, ada wajah renta seorang nenek.
Di sisi lain, ada prinsip hukum yang harus ditegakkan.
Baca Juga:Inilah Sosok Desainer Pilihan Fuji untuk Villa Idamannya di Bali
"Walau terdakwa sudah berusia tua namun secara hukum pertanggungjawaban pidananya tetap ada, usia tua bukan berarti menghapus perbuatan pidana," kata JPU.
Pada akhirnya, tuntutan yang diajukan menjadi cerminan dari dilema ini: sebuah hukuman yang mengakui kesalahan di atas kertas, namun dilunasi oleh "perampasan kemerdekaan" di rumah, sebuah jalan tengah bagi tubuh yang tak lagi sanggup menghadapi kerasnya jeruji besi.
Kontributor : Putu Yonata Udawananda